03 April 2017

Dimana Aku Melihat.....


Proses pemaknaan identitas yang terjadi dalam masyarakat, tidak terlepas dari nilai-nilai pendidikan yang mereka pahami, dimana saat ini proses pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi oleh penyerapan unsur-unsur budaya asing yang berimbas pada pola fikir dan cara bertindak masyarakat. Terlalu mengunggulkan budaya asing serta penyerapan budaya yang tidak disertai dengan sikap kritis dan proses filterisasi yang matang, hanya akan menimbulkan kesenjangan dalam berfikir, bertindak dan mengevaluasi. Akhirnya banyak generasi muda yang pandai berargumen dan kritis tanpa disertai analisis yang tajam dan logis. Sehingga, dari nilai-nilai pendidikan yang kebanyakan merupakan hasil adopsi dan mengesampingkan nilai-nilai budaya lokal masyarakat, akan menghasilkan generasi sekuler yang hanya bisa menjastifikasi. Padahal pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya sadar dan terencana yang bukan hanya bertujuan menjadikan manusia yang ahli dalam kemampuan intelektual (intellectual oriented) dengan cara transfer pengetahuan (transfer of knowledge) semata. Namun proses pendidikan juga berujung pada penumbuhan watak, kepribadian, etika, dan estetika melalui transfer of value yang terkristalisasi dalam tujuan pendidikan tersebut (Mufida, 2013).
Berbagai jenis lembaga pendidikan yang ada di Indonesia baik formal, informal atau pun nonformal, sampai detik ini masih tetap eksis dan terus mendapat perhatian dari masyarakat banyak. Namun, pertanyaannya adalah seberapa jauh masyarakat meyakini akan mutu atau standar tertentu dalam suatu lembaga pendidikan. Ketika di era post modern seperti sekarang ini masyarakat lebih memilih lembaga pendidikan yang dianggap kekinian, seperti halnya lembaga pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau lembaga pendidikan yang didirikan oleh yayasan tertentu baik di dalam atau pun luar negeri. Maka pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah sejauh apakah keberhasilan lembaga pendidikan formal tersebut dalam membimbing dan menuntun kepribadian, watak, etika, estetika serta mental anak. Atau bagaimana nasib lembaga pendidikan nonformal yang sifatnya justru lebih tradisional dan mengangkat budaya lokal kedaerahan layaknya lembaga pendidikan agama seperti pesantren? Apakah pesantren akan kehilangan penggemarnya dan kehilangan siswa atau santri, sehingga tak sedikit pesantren yang akhirnya memutuskan untuk bertransformasi menjadi lembaga pendidikan formal. 
Hari ini, tidak lagi menjadi hal tabu jika masih banyak orang yang beranggapan bahwa pendidikan pesantren itu kuno, tradisional, bahkan ketinggalan zaman. Asumsi tersebut didasarkan pada pola pendidikan pesantren yang dianggap berpusat pada guru (teacher center) bahkan taklid buta (baca: mengekor pada guru). Sistem pengajarannya yang lebih mengutamakan konsep barakah (baca: berkahnya ilmu) dan manfaat ilmu dari pada sekedar pengetahuan atau kemampuan kognitif semata. Untuk itu, barakah dan manfaat ilmu yang diajarkan pada pendidikan pesantren tidak dapat diukur dengan angka, berbeda halnya dengan kemampuan kognitif yang dapat di visualisasikan dengan angka. Hal yang demikian itu baik sadar atau pun tidak sadar sudah mengindikasikan adanya budaya pragmatis dalam kehidupan masyarakat banyak. Masyarakat lebih mengutamakan apa yang terlihat, terukur, dan tersistem. Bukan lagi pada makna, orientasi atau visi, dan yang lebih jauh dari itu adalah pada apa yang ada dibalik sebuah nilai. Akhirnya, dengan segala pola dan konsep pendidikan yang ada di pesantren, masyarakat umum lebih menjadikan pendidikan formal sebagai alternatif pilihan utama.
Hanya masyarakat yang berasal dari kalangan pesantren saja yang benar-benar memahami bahwa sistem pendidikan dan pengajaran pesantren sebenarnya memiliki pola yang jauh lebih modern dari pada sistem pengajaran dan pendidikan formal saat ini. Jika hari ini sudah banyak masyarakat yang tergerus akan maraknya budaya kebarat-baratan (westernisasi), pesantren justru tetap berpegang teguh pada budaya leluhur serta mempertahankan nilai-nilai budaya lokal yang ada di masyarakat. Jika hari ini pendidikan karakter masih terus menerus di galakkan oleh pemerintah, pesantren justru terlebih dahulu menjadikan nilai-nilai karakter sebagai landasan awal pendidikan sebelum menerima pengetahuan kognitif. Sebut saja Pondok Pesantren Tebu Ireng yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada 1899. Saat itu masih getol-getolnya penjajahan Jepang di Indonesia dan belum terlalu banyak pendidikan formal yang eksis, walaupun sejatinya pendidikan formal di Indonesia diperkenalkan oleh Belanda melalui politik etis (Rizqi dan Rini; 2015). Namun saat itu Pondok Pesantren Tebu Ireng sudah menjadi lembaga pendidikan non formal yang disegani karena karakter santri-santrinya yang tidak terlepas dari peran dan kepemimpinan sang pencetus Revolusi Jihad.


15 January 2017

Gelora Islam Masa Kini, Melihat Kembali Nilai Idealisme Mahasiswa


Imam Fauzi @Mencoba mengkritisi

Bukan berarti harus berdebat dan berlaku radikal untuk mengharuskan sistem kepemimpinan sekarang seperti halnya sistem kepemimpinan era Rosulullah SAW dan sahabat. Walaupun sejatinya kita tidak pernah tahu, sistem seperti apakah yang paling baik yang harusnya diterapkan di Indonesia. Namun, bukan berarti kalimat sebelum ini merupakan ambiguitas penulis dalam mencoba memahami situasi pemerintahan di Indonesia. Karena penulis pun mempercayai bahwa sistem kepemimpinan demokrasi merupakan sistem yang paling baik di zaman sekarang. Terlebih lagi, sistem tersebut tidak hanya hasil dari perjuangan kaum elit politik terdahulu, namun tak lepas dari buah pemikiran dan perjuangan ulama yang ada di jajaran bumi pertiwi ini. Dan yang paling penting, nilai demokratis sudah sangat jelas di jabarkan dalam Kitabullah Al-Qur’anulkarim.
Jika hari ini kita sama-sama menyadari bahwa persatuan dan kesatuan umat Islam di Indonesia semakin menurun, maka bukan hal yang ambisius kiranya penulis mengatakan “bukan lagi saatnya kita bermain-main”. Artinya, beberapa dekade ini umat Islam yang ada di Indonesia terombang-ambingkan hanya karena percaturan politik. Tidak usah jauh-jauh melihat perpolitikan yang ada di parlemen pusat, lihat saja kondisi geopolitik yang ada di kampus-kampus atau perguruan tinggi mana pun.
Postulat pertama: banyak diantara organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus yang mengatasnamakan perjuangan atau pergerakan mereka dengan nada “dakwah”. Jika saja pernyataan tersebut berhenti sampai disitu saja, mungkin tidak menjadi masalah. Namun, cara atau metode yang diterapkan beberapa organisasi kemahasiswaan yang ada di Indonesia yang serta merta mengerucut pada politik praktis (di dalam dan diluar kampus) yang dalam hal ini menurut penulis kurang tepat.
Penulis kira, tak ada satu mahasiswa pun yang mau dicap sebagai mahasiswa liberal, radikal, apa lagi pengemis jabatan. Postulat kedua: semuanya pasti beranggapan bahwa mahasiswa merupakan kaum pemikir, kaum yang berjiwa sosial tinggi dan kaum yang memegang teguh nilai-nilai agama. Atau lebih pendeknya, mahasisa merupakan satu-satunya kaum yang memiliki jiwa idealisme tinggi. Hanya saja jika melihat kondisi saat sekarang, banyak diantara mahasiswa yang justru terbawa pada arus pragmatis.
Jika anda pernah menyaksikan ada beberapa mahasiswa yang hanya menjalani kehidupan di lingkungan kampus untuk bersenang-senang, jika anda pernah mengalami indoktrinasi pada suatu paham tertentu, atau yang lebih parah adalah jika anda pernah merasa dibuang, diasingkan, dan bahkan diusir karena anda dianggap tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di lingkungan anda, maka oknum-oknum tersebut bukan lagi mahasiswa yang berjiwa idealis. Mereka hanya berfikir dan bersikap pragmatis yang bersembunyi dibalik retorika idealis. Hal ini menjadi postulat ketiga.
Pendeknya, sampai saat ini kebhinekaan dari umat Islam sudah sangat banyak. yang masih kurang adalah ke-Tunggal Ika-an diantara kebhinekaan yang sudah ada. Dan sebagai kaum elit pelajar tertinggi (dalam hal ini mahasiswa), bukan lagi saatnya untuk bermain-main hanya karena perebutan “pengakuan, eksistensi, atau bahkan kekuasaan” yang bersembunyi dibalik jari dan mengatasnamakan dakwah.  Apa lagi memberikannya parameter tertinggi sebagai keberhasilan dakwah. Belajar politik, ya berpolitik. Belajar dakwah, ya berdakwah. Jangan sampai sebuah wewenang atau sebuah pengakuan itu diminta. Namun jika diberi amanah dan merasa mampu, maka jangan sekali-kali anda lari. Toh yang namanya pengakuan, hadiah, pujian, dan apresiasi, tanpa anda tempatkan sebagai tujuan pun anda pasti akan mendapatkannya. Jika memang anda benar-benar layak dan pantas untuk menerimanya.
Terakhir, mari kembali kita merenungkan hal-hal ruhani. Bukan hanya hal-hal indrawi saja. Dan mari kita kembali tiupkan ruh Kebhinekaan, serta ruh Tunggal Ika. Jangan sampai keduanya terpisahkan dari dalam hati kita. Bukan hal yang mustahil jika utopia akan didapatkan, jika semua umat Islam bersatu dan berpadu. Apa pun gerakannya, apa pun ormasnya sejauh sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Jangan sampai yang diluar sana memporak porandakan umat Islam yang masih seperti saat ini. Mari wujudkan umat Islam yang kokoh bersatu, sehat dalam berfikir dan berbudaya, cerdas dalam memutuskan, maksimal dalam beramal baik. Tidak saling menjatuhkan hanya karena berbeda pandangan, tidak mengucilkan hanya karena tidak sejalur dengan tujuan, tidak meninggalkan karena pernah melakukan kesalahan. Postulat keempat.



20 September 2016

Menjadi “Santri Pancasilais”

 
“Santri Pancasilais”. Dua kata itu bukan berarti bermakna ambivalen. Jika banyak orang memahami bahwa dunianya santri hanya lah seputar dunia keagamaan, sementara Pancasila berarti berbicara kenegaraan/kebangsaan. Dua kata tersebut pun bukan berarti mengafiliasikan kaum santri dengan dunia politik, dimana nilai-nilai Pancasila seakan nyaris pudar hanya karena percaturan politik yang tidak sehat. Kemudian, seperti apakah dua kata diatas harus kita maknai?  Untuk itu, mari kita kaji bersama apa itu Santri Pancasilais.
Nur Kholis Majid mengungkapkan dua pandangannya tentang santri yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu sastri yang berarti orang melek huruf dan berasal dari Bahasa Jawa yaitu cantrik yang berarti seseorang yang mengikuti kiai di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri. Sementara Alm. KH. Abdullah Dimyathy dari Pandegelang-Banten, mengimplementasikan kata santri sesuai dengan fungsi manusia. Bahwasanya kata santri minimal berasal dari empat huruf, yaitu: (س,ن,ت,ر). Penjabarannya yaitu : Sin, yang artinya satrul al aurah (menutup aurat) sebagaimana selayaknya kaum santri yang mempunyai ciri khas dengan sarung, peci, pakaian koko, dan sandal ala kadarnya sudah barang tentu bisa masuk dalam golongan huruf sin ini yaitu menutup aurat. Nun, yang berarti na'ibul ulama (wakil dari ulama). Pada koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadits bahwa al ulama warasul ambiya' (ulama adalah pewaris nabi). Rasul adalah pemimpin dari ummat, begitu juga ulama. Peran dan fungsi ulama dalam masyarakat hampir sama dengan rasul, sebagai pengayom atau pelayan ummat dalam segala dimensi. Ta', yang artinya tarku al ma'shi (meninggalkan kemaksiatan). Dengan dasar yang dimiliki kaum santri, khususnya dalam mempelajari syari’at, kaum santri diharapkan mampu memegang prinsip sekaligus konsisten terhadap pendirian dan nilai-nilai ajaran Islam serta hukum adab yang berlaku di masyarakatnya selagi tidak keluar dari jalur syari’at. Ra’, yang artinya raisul ummah (pemimpin ummat). Manusia selain diberi kehormatan oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding yang lain. Manusia juga diangkat sebagai khalifatullah di atas bumi ini (Amin, 2012 “Asal Muasal Nama Santri”).
Pada hakikatnya, yang dinamakan sebagai santri bukan hanya mereka yang tinggal di pondok pesantren, dan bukan hanya mereka yang terus menerus mengaji dan menghafalkan Al-Qur’an. Apakah anda juga berfikiran sama dengan pemahaman dangkal penulis? Atau kah anda mempunyai argumentasi lain? Jika penulis bertanya, menurut anda (pembaca) salahkah jika kita berfikir bahwa semua manusia di muka bumi ini adalah santri? Yakni santri-santri peliharaan Allah SWT. Dan jangan lupa, yang namanya santri pasti ada yang patuh, pandai, bahkan ada pula yang  malas dan melanggar aturan hingga syari’at. Pada konteks ini, hanya jika kita mau berfikir bahwa semua manusia bahkan semua makhluk ciptaan-Nya merupakan santri milik Allah, kita tidak akan beranggapan bahwa terdapat kaum yang lebih hina, lebih buruk, bahkan lebih ganas. Yang ada hanya saudara-saudara yang belum menemukan cahaya sebagai lentera kehidupan yang nyata. Lentera itu bernama “kemanusiaan”. Apa pun agama, suku, jabatan, bahkan warna kulitnya, jika setiap insan memiliki lentera tersebut, dipastikan tidak akan terjadi penumpahan darah yang sudah sering kita ketahui belakangan ini. Maka, mari kita rengkuh bersama lentera kemanusiaaan tersebut!
Sekali lagi, jika saat ini kita mau sedikit merenungkan hal diatas, insyaallah kita akan lebih bersikap tolelir, menerima segala kekurangan, dan menghargai sesama. Karena sejatinya semua insan di dunia adalah santri-santri yang Allah SWT ciptakan.  Penulis bertanya lagi, apakah anda merupakan bagian dari bangsa Indonesia? Apakah anda masih percaya bahwa Indonesia adalah negara terbaik yang pantas anda tempati? Penulis tidak bertanya apa suku anda, apa agama anda, apa jabatan anda, dan harta apa yang anda miliki saat ini. Melainkan status kebangsaan apa yang anda ingin percayai? Karena status tersebut yang akan menghantarkan kita pada internalisasi  nilai kemanusiaan dalam sebuah ideologi dan falsafah hidup bangsa IndONEsia, yakni “Pancasila”.
Jika anda merasa sebagai warga Indonesia sejati tentu anda sudah sangat faham dengan setiap isi Pancasila serta makna yang terdapat didalam sila-silanya. Tidak hanya berlaku bagi orang Islam, namun bagi setiap masyarakat Indonesia dari sudut mana pun dan dari latar belakang apa pun. Karena Pancasila bersifat universal untuk negara Indonesia.  Jika saat ini masih banyak orang yang dengan kejam mementahkan nilai peradaban yang ada di Pancasila, maka sudah menjadi tugas kita sebagai generasi yang sadar untuk membantu meluruskan kembali pada jalan lurus yang sudah ada. Penulis tidak berkata “hanya generasi muda” melainkan “generasi sadar”. Sebab hanya yang sadar saja lah yang mampu membantu meluruskan nilai peradaban Pancasila yang saat ini banyak di khianati, berapa pun usianya. Tidak hanya cukup tahu saja dengan realita saat ini, dimana banyak yang tidak percaya dengan Pancasila, karena dengan adanya kesadaran itu lah berarti kita mau dan mampu untuk membantu mengembalikan nilai Pancasila, dimana sekarang sudah banyak orang yang mencemooh serta mengungkapkan ketidaksetujuannya.
Setiap jiwa adalah santri-santri Allah SWT. Jadi lah santri yang taat dengan perintah agama dan berjuang di jalan-Nya. Jadi lah santri yang memiliki jiwa humanitas. Religiusitas dan intelektualitas tentu jangan sampai tertinggal. Wabilkhusus kepada kawula muda, mari kita ingat kembali penggalan syair dari Syaikh Syarofuddin Yahya Al-‘Imrithi (Syaikh Al-‘Imrithi). Beliau mengungkapkan “Hanya dengan kadar keyakinannya, seorang pemuda akan ditinggikan derajatnya. Dan barang siapa yang tak punya kemantapan (tekad), maka dia tidak akan bisa mendapatkan kemanfaatan” . Untuk itu, mari kita kuatkan Imam kita dan juga memupuk tekad kuat demi cita-cita kita, demi harapan mulia para ulama dan pendahulu kita, serta demi  terwujudynya Negara Indonesia yang sejahtera dengan segala kemajemukannya.
Imam Fauzi



29 August 2016

Logika Menerima, Berbalas Memberi





Masihkah anda tersenyum kepada orang lain dengan niat berbagi?
Ataukah hanya menutupi kesedihan yang saat ini anda rasakan?

Benarkah jika tersenyum kepada orang lain bisa disebut sebagai pemberian? Jika senyum adalah ibadah yang bisa diberikan dengan cara indah, maka boleh jadi bahwa senyuman juga merupakan hal yang bisa diberikan. Bukan Cuma ungkapan makna perasaan yang tervisualisasikan lewat torehan bibir yang bersifat universal itu. Coba anda perhatikan, apakan senyum orang Indonesia dengan orang selain Indonesia berbeda? Apakah tertawanya orang Eropa dengan orang Indonesia berbeda? Apakah tangisannya orang Amerika dengan orang Indonesia berbeda? Jawabannya adalah sama. Dengan sedikit banyak, menarik bibir kesamping kanan dan samping kiri dinamakan senyuman, senyum yang sampai memperlihatkan gigi tertawa namanya. Dan raut muka pilu dengan atau tanpa menitikkan air mata adalah warna kesedihan bernama tangis.
Berbagai karunia Allah SWT yang tentunya tidak bisa kita urai persatuannya merupakan hal yang sangat luar biasa yang mana kita hanya bisa bersyukur atas pemberian-Nya itu. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, ujung timur hingga ujung barat, ujung selatan hingga ujung utara, semua fatwa alam itu adalah hal terindah yang Dia berikan kepada makhluk-Nya. Apakah hari ini kita masih menyempatkan sedikit waktu kita untuk merenungkan hal tersebut? Mari kita memejamkan mata sejenak, bukan hanya mata fisik namun juga mata hati kita. Sebenarnya mengapa kita sampai berada di dunia ini? Untuk apa Allah SWT menciptakan (sebut nama anda masing-masing)? Dan apa gerangan rencana-Nya untuk kehidupan kita kelak? Sungguh, adakah dari diri kita saat ini yang dengan lantang dan tegas, berani untuk menjawab bahwa “kehidupan yang saya rasakan hingga detik ini adalah pemberian-Nya”. Dari sehela nafas kita, satu kedipan mata kita, satu fonem atau kata yang keluar dari mulut kita, satu tindakan kita, serta dari sekecil apa pun yang bisa kita perbuat di dunia ini, semuanya adalah kehendak Allah SWT. Dan Allah tidak mungkin menakdirkan semua itu, jika tiada kehendak yang diberikan-Nya untuk kita semua.
Satu kata saja yang harus kita renungkan dalam-dalam, bahwa kita terlahir di dunia dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang kita miliki adalah PEMBERIAN-NYA. Selama ini kita selalu dan senantiasa menerima pemberian dari Allah SWT. Pertanyaannya adalah, apa yang sudah kita beri untuk-Nya? Sekali lagi, apakah salah satu dari diri anda pernah merenungkan hal itu secara serius dari hati dan fikiran anda? Secara logika saja, Allah SWT tidak membutuhkan apa-apa dari kita, kita lah yang terus menerus dan selalu butuh Allah SWT. Namun, jangan lupa bahwa Allah SWT menerima setiap amal dan perbuatan hamba-hamba-Nya. Ingat ucapan seusai kita menerima sesuatu dari orang lain? Ya, ucapan itu adalah “terima kasih”.  Jika kita pisah antarkata tersebut, terdapat dua kata yaitu kata “terima” dan “kasih”. Ingatkah kalimat pada paragaraf sebelumnya? Jika selama ini kita terus menerus menerima, padahal seharusnya kita harus bisa mengasih atau memberi, sebagai ungkapan syukur atas apa yang kita terima. Jika kita bisa menerima, maka sebaiknya kita juga bisa mengasih/memberi. Dan lewat apa kita memberi kepada Allah SWT? Tentu saja lewat amal, doa, dan ibadah-ibadah lain. Catatannya harus ikhlas, sepenuh hati dan istiqamah.
Sekarang, anda pasti sudah faham akan logika “menerima” dan “mengasih”. Sehingga pertanyaan-pertanyaan sebelumnya tentang bagaimana anda bisa memberi sesuatu kepada Allah SWT, sudah dapat anda jawab dan anda pasti bernafas lega sekarang. Karena anda tentu sudah melakukan banyak ibadah dan amal selama hidup anda. Lain halnya bagi saudara-saudara kita yang mungkin belum mendapat ilham kesadaran dan masih berbuat mungkar sampai saat ini. Yang terpenting, mari kita benahi diri pribadi kita terlebih dahulu. Kita juga harus tahu, bahwa perbuatan baik yang kita berikan kepada sesama manusia dan makhluk Allah SWT yang lain, juga merupakan hal yang bisa kita berikan kepada Allah SWT. Artinya, segala upaya amal dan peribadatan yang kita laksanakan semata- mata hanya untuk Allah SWT, bukan yang lain.
Dengan amal kita berbuat, dengan perbuatan ibadah kita memberikan apa-apa yang kita bisa kepada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan. Dan semua pemberian yang kita berikan kepada mereka bermuara pada tujuan ridla Illahi. Lakukan lah hal baik sekecil apa pun yang kita bisa, kuncinya adalah kita mau dan mampu. Jangan hanya mau menerima pemberian orang lain, namun juga mau memberi untuk orang lain. Dan jika belum mampu atau mau, maka berbagi dapat kita lakukan melalui hal-hal kecil yang tidak menguras banyak energi atau pun materi. Mendoakan orang tua, senyuman tulus kepada sesama, membantu kawan yang mengalami kesusahan, merupakan contoh nyata bagaimana kita dapat berbagi untuk mereka. Jangan lupakan setiap pemberian yang telah Allah SWT karuniakan kepada kita. Jangan lupakan setiap pemberian yang telah orang persembahkan untuk kita. Karena berbagi adalah ibadah, berbagi adalah sedekah, berbagi adalah hal yang sangat indah.
Imam Fauzi

31 May 2016

North Country (Minnesota Utara 1975): Tentang Diskriminasi Gender Pekerja Perempuan di Mesubi Iron Range



She doesn’t give up easly because of you. As fast as you give up because of her......
Dia tidak mudah menyerah karenamu. Secepat kau menyerah karenanya.......
Women's group struggling in to voice it human right and material right......
Perjuangan kaum perempuan dalam menyuarakan hak-hak manusiawi dan hak materi......
Berawal dari sebuah cerita yang berlatar di Mesubi Iron Range Minnesota Utara, yaitu perusahaan tambang besi yang dipimpin oleh Lou Gorug Pearson. Di perusahaan ini lah terdapat rentetan kisah perjuangan sesosok perempuan yang mempunyai kehidupan keras dan menyakitkan. Namanya adalah Josy Aimes, seorang perempuan dengan dua anak tanpa ayah yang jelas. Josy adalah sesosok perempuan tangguh yang berjuang atas nama keadilan gender. Pada usia SMA dia harus merelakan keperawananya direnggut oleh guru SMAnya sendiri.  Hal yang paling ironis disini adalah bahwa kejadian tersebut dirahasiakannya dari kedua orang tua Josy. Namun, tak ada yang bisa menyimpan masalah serapat mungkin. Masalah apa pun pasti akan terbongkar juga. Seiring dengan membesarnnya perut Josy, akhirnya Josy melahirkan anak pertamanya laki-laki. Anggapan orang tua Josy adalah Josy telah melakukan hubungan terlarang dan menimbulkan aib keluarga, sehingga kehadairan Josy di keluarganya setelah kejadian itu menjadi semakin berat dan terasingkan. Josy hampir tak pernah mendapat perlakuan yang semestinya dan selalu mendapat cercaan, khususnya dari sang ayah.
Anak laki-laki Josy bernama Sammy, usianya sudah menginjak remaja. Kemudian Sammy pun mempunyai adik perempuan, dan mulai saat itu kebencian ayah Josy semakin bertambah. Apa lagi ketika Josy masih belum menemukan pekerjaan, padahal harus menghidupi kedua anaknya. Walaupun Josy seorang perempuan, namun ia tetap dituntut untuk membesarkan anak-anaknya secara mandiri. Akhirnya setelah berusaha keras, Josy pun mendapatkan pekerjaan di Mesubi Iron Range. Dari sini lah pahitnya jalan kehidupan yang ditempuh Josy semakin tampak jelas. Sebagian besar pekerja tambang di perusahaan tersebut adalah laki-laki, dan perempuan dianggap tidak pantas untuk bekerja di pertambangan. Tambang adalah milik laki-laki. Dari keyakinan yang dianut oleh seluruh pekerja tambang di Mesubi Iron Range atau mereka menyebut dirinya sebagai serikat pekerja tambang, kesenjangan gender pun mulai terjadi. Berbagai perlakuan tidak senonoh dari pekerja laki-laki terhadap pekerja perempuan semakin merajalela.
Awalnya, Josy masuk di Mesubi Iron Range atas bantuan teman dekatnya bernama Glory Godge. Tokoh Glory nantinya akan membantu perjuangan seorang Josy Aimes dalam menyuarakan ketidakadilan gender yang dialami hampir semua pekerja perempuan di Mesubi Iron Range. Dari pertama Josy bekerja disana, dia mengalami pelecehan seksual dari rekan kerja laki-laki yaitu Earl dan Boby. Mulai dari perkataan yang tidak senonoh, “wanita jalang, wanita yang berhubungan seksual dengan banyak orang, wanita pekerja seksual” sampai pada perlakuan yang yang sangat keterlaluan. Menyentuh bagian vital, sampai menindih tubuh Josy kerap dilakukan oleh Earl. Sementara Boby awalnya adalah pacar Josy saat di SMA, namun karena Josy sudah diperkosa oleh gurunya akhirnya Boby meninggalkan Josy. Dan di Mesubi Iron Range, Boby selalu berusaha mencium Josy dan melakukan pelecehan seksual lainnya. Bahkan perlakuan-perlakuan diskriminasi gender seperti merendahkan dan memfitnah pekerja perempuan yang ada disana juga kerapkali terjadi.
Ketidakadilan gender seperti yang diungkapkan oleh Prof. Marhaeni merupakan bentuk dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan yang berasal dari keyakinan gender (Marhaeni, 2011:81). Ketidakadilan gender dialami oleh sebagian besar pekerja perempuan yang ada di Mesubi Iron Range dan merupakan perlakuan yang mengarah pada kejahatan seksual. Misalnya seperti tulisan “wanita jalang” menggunakan kotoran pada dinding kamar mandi yang ada di pabrik tambang Mesubi Iron Range. Seiring berjalannya waktu dengan tanpa adanya perubahan keadaan yang membaik, Josy Aimes bertekad untuk melaporkan dan menuntut keadilan. Usaha pertama yang ia tempuh adalah dengan melaporkan kepada pihak atasan perusahaan sampai pimpinan perusahaan. Namun yang terjadi adalah Josy di permainkan dan pengakuannya tidak di anggap sebagai sebuah kebenaran. Apa lagi dengan pengalaman seksual Josy, semakin direndahkan lah dia oleh Lou Gorug Pearson dan Josy dihadapkan pada pilihan untuk  berhenti dari perusahaan atau tetap melanjutkan bekerja dengan segala perlakuan diskriminatif yang tidak di akui oleh pimpinan perusahaan.
Ketidaksetaraan gender yang menimpa Josy dan pekerja perempuan lainnya disebabkan karena adanya dominasi peran laki-laki dalam ranah publik dan menempatkan peran perempuan pada ranah domestik. Kondisi tersebut terjadi secara universal dan menempatkan posisi perempuan pada tingkat yang rendah dibandingkan dengan posisi laki-laki (Rosaldo, 1974). Jumlah partisipasi dalam lingkup publik yang di kuasai laki-laki semakin melanggengkan otoritas laki-laki di muka umum dan menyebabkan adanya penilaian yang lebih tinggi terhadap apa yang dilakukan oleh laki-laki. Saat itu, budaya yang masih melekat pada masyarakat Minnesota Utara masih sangat bias gender. Dibuktikan dengan adanya perlakuan terhadap kaum laki-laki dan kaum perempuan yang mengalami  kesenjangan (gap). Pekerjaan tambang dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, pekerja tambang bukan tempatnya perempuan untuk bekerja. Perempuan tidak pantas berada di perusahaan tambang dan sebagainya. Kondisi demikian terus terjadi sampai akhirnya Josy mengajukan tuntutan terhadap perlakuan semena-mena yang dia dan pekerja perempuan lainnya dapatkan.
Keadaan semakin bertambah buruk ketika Josy juga tidak mendapat penghormatan dari anak-anak dan orang tuanya. Sammy selalu menyalahkan perlakuan ibunya, dan ayah Josy juga terus menerus merendahkannya dan menganggap Josy sebagai pembawa aib keluarga. Pada posisi ini, Josy dianggap sebagai perempuan yang hina. Namun, Josy tetaplah seorang ibu bagi anak-anaknya dan Josy tetaplah sebagai anak dari kedua orang tuanya. Sehingga dalam suatu forum rapat resmi serikat pekerja Mesubi Iron Range, Josy dapat menyuarakan aspirasinya namun tetap diremehkan oleh seluruh audien yang hadir disana.  Pada saat itu, ayah Josy tergerak hatinya dan tersadar hingga akhirnya menemani Josy diatas panggung untuk mengungkapkan pendapat. “Dulu kalian adalah teman-teman saya, saudara dan keluarga saya. Namun sekarang kalian bukanlah siapa-siapa, bahkan saya tidak mengenal kalian. Ketika kita mengajak istri kita makan disuatu restoran, kita tak pernah mengatakan jalang pada istri-istri orang lain disana, Josy tetaplah anak saya dan dia mempunyai dua orang anak yang harus dibesarkan”. Kemudian beberapa pekerja lainnya tertegun dan memberikan tepuk tangan kepada Josy dan ayahnya, walaupun ada juga yang berlaku sinis terhadap mereka.
Akhirrnya dengan ditemani seorang pengacara bernama Bill, Josy memberanikan diri untuk melaporkan pelecehan seksual yang dia alami ke pengadilan. Dan dengan proses yang sangat panjang Josy pun memenangkan gugatan. Awalnya sangat sulit, namun dengan ditemani Glory, Sherly dan beberapa pekerja perempuan lainnya, tuntutan Josy menjadi sebuah tuntutan publik dan pihak perusahaan harus memberikan ganti rugi materi terhadap semua pekerja perempuan yang mengalami kasus pelecehan seksual diperusahaan tersebut.  Ketika tuntutan Josy masih mengalami proses yang rumit, sebenarnya tak ada yang membela Josy kecuali Bill pengacaranya, namun ketika Glory yang saat itu dalam posisi sakit parah namun tetap hadir di pengadilan berkata “My name is Glory Godge and I’m not dad. I stand with Josy (nama saya Glory Godge dan saya belum mati. Saya berdiri bersama Josy)” menjadikan suasana sangat dramatis. Kemudian diikuti oleh sebagian perempuan yang ada di ruang sidang dan kedua orang tua Josy serta sebagian besar pekerja tambang laki-laki Mesubi Iron Range Pearson.
Ketidakharmonisan Josy dengan orang tua dan anak-anaknya juga berakhir. Dengan pengertian dan pemahaman yang Josy berikan kepada Sammy, menjadi jembatan baru untuk menempuh kehidupan yang damai. Dan karena hasil kerja kerasnya, Josy dapat mewujudkan cita-citanya menjadi seorang ibu yang akan melakukan apa pun untuk anak-anaknya. Josy dapat membeli rumah baru, memberi fasilitas kepada anak-anaknya dan memberi kebahagiaan kepada mereka. Walaupun sampai tahun 1989 jumlah pekerja perempuan yang ada di Mesubi Iron Range masih di dominasi oleh laki-laki dengan perbandingan 30:1, setidaknya sudah ada peraturan yang tegas untuk saling menghormati dan menghargai antarserikat pekerja disana.  Sesuai aturan dan sumpah serikat yakni “Hormati sesama rekan” yang dulu hanya sebatas ucapan dan berhenti pada ranah konsep dan norma, namun setelah perjuangan Josy berhasil konsep itu menjadi sebuah realitas sosial yang sampai saat ini masih dijunjung tinggi.
Ketidakadilan bukan sesuatu yang pantas untuk diratapi.......
Ketidakadilan bukan sesuatu yang pantas untuk kita abaikan..........
Ketidakadilan harus kita kalahkan dengan tangan kita sendiri...........
Ketidakadilan yang harus berlutut dibawah telapak kaki kita.........


Sumber:
Astuti, Tri Marhaeni Pudji. 2011. Konstruksi Gender dalam Realitas Sosial. Unnes Press: Semarang
Rosaldo, M and Lampere L. (eds). 1974. Women, Culture, and Society. Standford University       Press: Standford, CA.

24 May 2016

Bukan Kancingnya, tapi Bajunya.........


Kedipan mata itu menyibakkan silau yang membuat siapa saja yang menatapnya terhanyut akan keanggunannya. Alisnya yang nanggal sepisan bagaikan bulan sabit tanpa sedikit pun pelik dan membuat terpana kepada siapa saja yang meliriknya. Surya itu memancar merah muda dan menyilaukan pada setiap tatapan mata yang memandangya, senyum itu bagaikan gugusan rasi bintang yang semua orang sepakat dengan keindahannya. Dan tubuhnya yang terbalut dengan pakaian serba tertutup itu semakin menunjukkan bahwa dia adalah seorang alim taat agama atau bisa disebut sebagai orang yang religius.
Bias-bias kaca tertembus oleh sinar mentari dan langsung menyentuh jendela peraduan. Gelapnya senja berganti terangnya embun pagi sudah. Bunga-bunga di depan papan jendela tidur bermekaran, udara sejuk yang masih sedikit dingin itu memaksaku untuk bangkit dari tempat yang paling santai untuk menyegarkan kembali fisik yang kemarin terasa patah dan ambruk. Bagaimana tidak, selama tiga jam di dalam ruangan dengan tiga orang di depanku yang tiada henti-hentinya ingin menjatuhkan hasil kinerjaku selama enam bulan penuh. Kebanyakan orang mengatakan bahwa itu adalah sidang, namun bagiku tidak demikian. Itu adalah sebuah drama yang menguji akan kekonsistenan gagasanku yang sudah tertuang pada lembaran-lembaran kertas putih, serta sesuatu yang harus aku ucapkan agar tiga orang itu benar-benar menganggapku pantas dan layak untuk mencapai satu kata yang mungkin harus setengah mati mencapainya, yakni “lulus”.
“Pagi Jem. Gimana ujianmu kemarin, sidangya oke?” Sisi melambaikan tangan kearahku dan Jamal. “Em... Alhamdulillah beres semua” jawab Jamal.
Biasalah, di kampus itu panggilannya suka aneh-aneh. Jamal di panggil Jem, aku yang nama aslinya Pampam aja di pangggilnya Jon. Katanya biar mudah dan terlihat keren. Kemudian kami bertiga saling bersalaman dan tiba-tiba Sisi merangkul pundak kami dari tengah diantara aku dan Jem. Sontak aku kaget, “Si, apa yang kamu lakukan?” “udah, nyante aja. Biasa kale....” jawab Sisi santai.

Bagaimana tidak, Sisi yang dikenal sangat anggun karena pakaian yang syar’i itu senantiasa menutupi auratnya. Jilbabnya saja hampir menutup seluruh tubuhnya, hampir sampai paha. Rasanya sangat aneh jika melihat cewek yang seperti itu merangkul laki-laki. Apa lagi bukan saudara atau kerabatnya. Terlebih biasanya Sisi juga memegang pipiku atau Jem, katanya gemes.
Kemudian kami berlalu menuuju tempat yang kami tuju masing-masing, Jem kembali ke kost, Sisi rapat dengan organisasinya, kalau aku sih kupu-kupu, alias kuliah pulang-kuliah pulang. Ya sebenarnya ada satu kegiatan yang aku dan Sisi ikut di dalamnya yaitu senat, namun aku jarang mengikuti kegiatan. Kalau sekarang BEM namanya. Tapi keberadaanku hanya sebagai staf dan Sisi menjadi kepala departemen. Sisi memang sangat cakap dalam cara berretorika dengan orang lain, dan sangat mudah untuk membuat orang lain padanya. Wajar saja jika banyak yang mengagumi akan keterampilannya itu.
            Sore itu mega berlarian pada hamparan  kabut di atas atap dunia. Sang surya semakin meredupkan sinarnya, agak kemerahan namun tetap cerah merona. Denting waktu tak terasa menggugat, mengingatkan bahwa hari sudah semakin senja dan aku masih banyak pekerjaan yang menunggu.
Di senja itu pula, senat mengadakan pertemuan dan seluruh anggota senat wajib hadir pada pertemuan tersebut untuk membahas topik sederhana yakni toleransi umat beragama. Akhir-akhir ini memang banyak kritikan dari anak-anak di kelas, organisasi intra maupun ekstra, serta dari kebanyakan mahasiswa lainnya berkenaan dengan hari raya agama. Kenapa saat Hari Raya Idul Fitri atau Hari Raya Idul Adha di media sosial sangat gencar akan ucapan-ucapan “Selamat Hari Raya....”, “mohon maaf lahir dan batin....” atau yang lainnya. Ucapan-ucapan tersebut berasal dari sesama umat Islam, juga dari non Islam. Namun ketika hari rayanya agama non Islam, tidak ada ucapan-ucapan selamat hari raya, atau sangat sedikit yang mengucapkannya, itu pun dari pihak yang agamanya sama. Umat Islam memang menjadi mayoritas di universitas kami. Untuk itu pada pertemuan senat kali ini, masalah tersebut akan di kupas sampa tuntas.
“Kita sebagai umat Islam tidak boleh merayakan hari rayanya orang kafir, jika orang-orang kafir mau mengucapkan selamat atas hari raya umat Islam, itu terserah mereka dan bukan menjadi urusan kita. Karena yang ikut merayakan hari rayanya orang kafir, maka dia juga termasuk orang yang kafir”. Adalah argumen dari Sisi kadep (kepala departemen) advokasi senat setelah ketua senat membuka rapat atau pertemuan dengan beberapa pengantar sebagai pemantik. Lain halnya dengan pendapat dari Jeki sebagai kadep humas. Ia mengatakan “Sebagai umat Islam memang tidak boleh ikut merayakan hari rayanya orang non Islam, namun karena kampus kita merupakan kampus yang dinamis dan memiliki keanekaragaman suku, agama, daerah, maupun bahasa, alangkah baiknya kita menghargai hari raya umat non Islam juga sebagai tanggapan atas kritikan yang senat terima. Kita bukannya ikut merayakan agama mereka, namun sebatas menghargai seperti membuat ucapan selamat hari raya kepada saudara-saudara kita non Islam, dalam bentuk pamphlet, atau menyerupai brosur pada media masa. Berlandaskan bahwa kita harus memiliki jiwa toleransi dan rasa saling mencintai sesama umat manusia. Bagaimana menurut forum?” Kebanyakan anggota senat mengangguk dan sepaham dengan pendapat yang diajukan oleh Jeki.
Susi merasa sangat keberatan terhadap pendapat Jeki. Mukanya merah padam, kemudian dia meninggalkan forum pertemuan senat dengan meninggalkan satu kalimat “Sepertinya sebagian besar anggota senat tidak paham akan kemurnian agama Islam yang sesungguhnya”. Susi pun berlalu.
Jika di lihat dari penampilan, Jeki sangatlah berbeda degan Susi, Jeki hanya mengenakan kerudung sebatas dada, pakaiannya pun tak jarang memperlihatkan lekukan-lekukan tubuhnya. Namun pemikirannya yang matang itu, meyakinkan semua anggota senat untuk bersikap adil yaitu ikut menghargai setiap hari raya agama yang ada di kampus kami. Bukan ikut serta merayakan, namun sebatas pada ikut menghargai dan menghormati. Kalau memang tidak di benarkan karena mengucapkan “Selamat Hari Raya....” pada orang-orang yang beragama non Islam, maka berlandaskan atas dasar kemanusiaanlah untuk ikut serta merasakan sedikit kebahagiaan karena kebahagiaan yang sedang mereka rasakan. Karena saya merasa bahwa Islam pun tidak pilih-pilih pada saat membuat saudara-saudara sesama manusia itu senantiasa bahagia.
Ternyata kepribadian orang bukanlah terletak pada atributnya, hakikat Islam bukan terletak pada jilbab yang besar, pakaian yang serba tertutup, sorban atau yang lain, karena semua itu adalah syari’at. Lebih jauh dari itu, adalah pemaknaan dan pemahaman kita mengenai agama dan Islam itu sendiri. Bukan mereka yang hanya memakai baju berkancing yang pantas di sebut seseorang yang paham akan busana, karena kaos pun termasuk pakaian atau bisa di katakan baju (kiasan). Bukan Kancingnya, Tapi Bajunya (kiasan). Tidak perlulah menyalahkan mereka atau pun menganggap mereka tidak lebih baik dari kita karena mereka memakai pakaian yang “berbeda” dari yang kita kenakan. Alangkah baiknya kita menghormati dan menghargai mereka karena kita semua masih sama-sama mengenakan pakaian, entah dengan bentuk atau pun model busana apa pun.
Akhirnya sejak pertemuan senat itu, kami memutuskan untuk bertoleransi yang lebih baik lagi dengan semua mahasiswa dari latar belakang apa pun. Dan sejak saat itu pula, Alhamdulillah konflik karena ucapan selamat hari raya, sudah tidak ada lagi.
Saya sebagai mahasiswa yang masih abal-abal mungkin hanya bisa menilai sesuatu dari permukaanya saja, karena saya bukanlah seorang ahli Teologi atau ahli agama. Namun, atas dasar “Rasa Kemanusiaan” saya kira apa pun agamanya, apa pun suku mau pun latar belakangnya, sekat-sekat atau pun kotak-kotak itu menjadi lebur dan menjadi kekuatan positif yang luar biasa. Misalnya saja saat tragedi jalur Gaza, atau yang ada di dekat kita yakni tragedi tsunami di Aceh. Berbagai bantuan dan dukungan materi atau pun non materi, itu berasal dari berbagai pihak yang  beranekaragam suku, agama, dan negara. Mereka membantu bukan karena kesamaan budaya, mereka membantu atas dasar “Sesama Manusia”.


(kisah nyata dari salah satu organisasi yang ada di salah satu universitas di kota Semarang).

15 October 2015

Hubungan Vertikal Antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren

Oleh:
Imam Fauzi (3401413023)
Jurusan Sosiologi dan Antropologi, Universitas Negeri Semarang

A.    Latar belakang
            Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara klasikal (sistem bandongan dan sorogan), dimana seorang kiai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedangkan para santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut.
            Hal yang penting untuk diingat adalah bahwa pondok pesantren memiliki program pendidikan yang disusun sendiri (mandiri) di mana program ini mengandung proses pendidikan formal, non formal maupun informal yang berlangsung sepanjang hari dalam satu pengkondisian di asrama. Sehingga dari sini dapat dipahami bahwa pondok pesantren secara institusi atau kelembagaan dikembangkan untuk mengefektifkan dampaknya, pondok pesantren bukan saja sebagai tempat belajar melainkan merupakan  proses hidup itu sendiri, pembentukan watak dan pengembangan sumber daya.
            Santri di identifikasi dalam pelaksanaan yang cermat dan teratur pada ritual-ritual pokok agama Islam, seperti shalat lima kali sehari, shalat jum’at, berpuasa, dan melakukan amalan sehari-hari sebagai sarana untuk menata hati dan memurnikan iman. Hubungan antara pondok pesantren sebagai tempat belajar, pembentukan watak, ataupun sebagai praktik keagamaan yang di akumulasikan dalam lembaga pendidikan pondok pesantren, tidak terlepas dari potret struktur sosial yang ada, khususnya antarsantri dengan kiai atau guru. Santri di posisikan sebagai kawula atau sing nggayuh ilmu, sementara guru terlebih kiai merupakan sumber barokah yang berasal dari Tuhan lewat keridloan yang di berikan guru kepada santri. Proses pendidikan yang ada di pondok pesantren menempatkan guru sebagai sumber pengetahuan dan pencerahan ilmu, karena proses pembelajaran yang di lakukan sendirian atau tidak di dampingi oleh guru di anggap sebagai proses belajar sepihak yang dapat menuai salah tafsir atau bahkan kesesatan. Pemahaman guru disini sangat di perlukan untuk membuka cakrawala pengetahuan murid (santri).
            Hal tersebut menimbulkan adanya struktur sosial antarsantri dan guru atau kiai yang berdampak pada tingkah laku atau unggah ungguh  dari murid terhadap guru. Mulai dari cara berbicara yang di lakukan santri kepada kiai, santri menundukan kepala atau tidak berani memandang wajah kiai berlama-lama, hingga cara bersalaman dan  mencium tangan kiai yang harus ndepe-ndepe atau ta’dzimul ustadz (mengagungkan guru). Berjalan mendekat perlahan-lahan, menggunakan lutut dengan tetap membungkukan badan dan menundukan kepala merupakan cara terbaik untuk menunjukkan etika atau sopan santun layaknya murid terhadap guru.
            Bentuk interaksi santri terhadap kiai merupakan struktur sosial dimana struktur sosial adalah fakta sosial, yaitu cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berada diluar individu tetapi mengikat. Sehingga, kelas sosial tertentu identik dengan cara hidup tertentu. Kelas sosial disini yaitu kelas sosial antara santri dan kiai, santri atau murid merupakan kelas sosial yang berada di bawah kiai atau guru. Kelas sosial bukanlah sekedar kumpulan dari orang-orang yang pendidikan atau penghasilannya relatif sama, tetapi lebih merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki cara atau gaya hidup yang relatif sama. Santri memiliki kesamaan dalam hal kebiasaan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari yaitu mempelajari kitab-kitab salaf (sering disebut dengan istilah kitab kuning), Al-Qur’an, hafalan, atau gotong royong dalam pembangunan pondok atau menjaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan pondok (ro’an).
            Mengagungkan guru pada konteks ini, bukan berarti menganggap guru sebagai yang agung, melainkan guru merupakan sarana (sulamun: tangga) yang akan menuntun santri atau murid kepada pemahaman tauhid, fikih, ilmu alat (nahwu dan sharaf) yang muaranya pada perbaikan akhlak. Pemahaman mengenai ilmu-ilmu tersebut harus secara syumul dan kaffah (menyeluruh dan sempurna), bukan pemahaman secara parsial atau setengah-setengah. Santri takut tidak akan di ridloi keinginannya oleh guru atau tidak mendapat barokah/berkah apabila tidak menjaga tindak-tanduknya.  Seorang santri harus mematuhi apa-apa yang di perintahkan guru, jangan sampai berpaling terhadap guru, memblakangi guru apa lagi sampai menyakiti hati guru. Santri yang demikian tidak akan di restui kenginan atau harapannya, bahkan akan mendapat bendu atau laknat karena tidak hormat pada guru.
Namun, ada kalanya struktur sosial juga mengalami perubahan, karena status, kedudukan, atau posisi individu atau kelompok dalam struktur sosial tidak bersifat statis atau tetap, melainkan dapat mengalami perubahan atau perpindahan. Santri yang sudah lama di pondok atau sudah lama nyantri, dan memiliki kemampuan yang setara dengan ustadz dapat berpindah status menjadi seorang guru. Perpindahan posisi dalam struktur sosial yang dialami oleh santri tersebut dalam struktur sosial disebut sebagai mobilitas sosial.
Dari pemaparan di atas, penulis mencoba menganalisis fenomena struktur sosial yang ada di pondok pesantren dengan cara mengamati kehidupan sosial antara santri dan kiai di salah satu pondok pesantren yang ada di lingkungan sekitar Universitas Negeri Semarang. Dan penulis mengangkat judul “Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren”. Tulisan ini berdasarkan pengalaman penulis secara langsung dan menggunakan referensi pustaka yang ilmiah dan dapat di pertanggungjawabkan.

B.     Tujuan
  1. Mengetahui Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren
  2. Memahami Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren
  3. Memberi wawasan kepada masyarakat awam mengenai Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren
  4. Sebagai referensi dalam melaksanakan observasi atau penelitian di masa mendatang berkaitan dengan fenomena atau hal yang sama.


C.     Esensi dari paper berjudul “Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren
    Alasan mengapa paper berjudul “Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk   Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren” di tulis adalah:
Struktur sosial merupakan salah satu konsep paling esensial dalam ilmu Sosiologi. Struktur sosial        berkaitan dengan posisi-posisi individu atau kelompok dalam masyarakat, yaitu kedudukan sosial (status) dan peranan sosial (role).
Struktur sosial merupakan susunan atau konfigurasi dari unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat, yaitu kelompok,  kelas sosial,  nilai dan norma sosial, dan lembaga sosial. Konfigurasi yang terjadi pada kehidupan sosial santri tidak terlepas dari sumber pengetahuan tertinggi dalam Islam, yakni Al-Qur’an sehingga konfigurasi tersebut tetap di sosialisasikan melalui pengajaran dan kebudayaan yang ada di pondok pesantren.
Bentuk interaksi dan komunikasi antara santri dan kiai yang unik dimana sangat menjunjung tinggi nilai dan norma sosial sebagai ciri utama dan tonggak kepribadian masyarakat Jawa.

D.    Pembahasan
Struktur sosial muncul karena adanya dua unsur yaitu individu, dalam hal ini individu adalah sebagai pembentuk masyarakat sekaligus pembentuk struktur sosial. Jika tidak ada individu-individu maka tidak mungkin ada masyarakat. Dan yang kedua adalah interaksi. Interaksi antarindividu dalam masyarakat akan membentuk struktur sosial, tanpa adanya interaksi maka struktur sosial tidak mungkin terbentuk. Terdapat dua macam parameter yang dapat digunaan untuk menganalisis struktur sosial, yaitu Parameter Graduated atau berjenjang, meliputi antara lain kekuasaan, keturunan/kasta, tingkat pendidikan, kekayaan, usia, dan Paramater Nominal atau tidak berjenjang, meliputi antara lain sukubangsa, ras, golongan/kelompok, jenis kelamin, agama, dan seterusnya. Pondok pesantren dapat di ukur menggunakan kedua parameter di atas, yaitu jika menyangkut tingkat pendidikan ilmu agama, usia, dan kedudukan maka digunakan parameter graduated atau berjenjang, sementara jika terkait dengan keanekaragaman asal dan budaya santri, jenis kelamin dan sebagainya digunakan parameter nominal atau tidak berjenjang.
Yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam dengan menetap dalam asrama (pondok) dengan seorang kyai, tuan guru sebagai tokoh utama dan masjid sebagai pusat lembaga dan menampung peserta didik (santri), yang belajar untuk memperdalami suatu ilmu agama Islam. Pondok pesantren juga mengajarkan materi tentang Islam, mencakup tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an, Tafsir, Etika, Sejarah dan ilmu kebatinan Islam. Pondok pesantren tidak membedakan tingkat sosial ekonomi orang tua peserta didik (santri), pendidikan orang tua peserta didik (santri), dengan menekankan pentingnya moral agama sebagai pedoman perilaku peserta didik (santri) sehari-hari, serta menekankan pentingnya moral keagamaan tersebut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. (Departemen Agama RI,  hlm 1)
Pondok pesantren yang melakukan pembelajaran dengan sistem klasikal yaitu mengkaji kitab-kitab salaf dapat di katakan sebagai Pondok Salaf. Salaf artinya “lama”, “dahulu”, atau “tradisional”. Pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran agama Islam dilakukan secara individual atau kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik, berbahasa Arab.
Ada dua jenis santri yakni Santri Mukim dan Santri Kalong. Santri mukim
Ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren. Sedangkan Santri Kalong ialah santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulang kerumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Kiai adalah tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran. Karena itu kiai adalah salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren. Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik dan wibawa, serta ketrampilan kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. Dalam konteks ini, pribadi kiai sangat menentukan, sebab ia adalah tokoh sentral dalam pesantren.
Untuk itu hubungan santri dan kiai benar-benar terjaga, baik dari cara berkomunikasi, berinteraksi hingga kontak sosial yang dilakukan dengan sangat halus dengan tidak meninggalkan unsur-unsur kesopanan yang ada.
Unsur pokok lain yang paling membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam seperti Adabul Murid, Ta’lim Muta’alaim, Sulamun Najah, Nashoihuddiniyah, Fathul Qorib, Da’watut Tammah Qiroatul’uyun, Durusul fiqhiyah, Tashrif,  Jurumiyah, ‘Imrithi, Alfiah, Mantig, Balaghoh,  Bustanul Arifin dan masih banyak lagi. Santri meyakini jika ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat, terlebih dahulu harus mendapatkan barokah atau restu dari kiai atau guru. Apabila santri sampai suul adab (durhaka) kepada guru maka tidak akan mendapatkan apapun ketika dia menjadi seorang santri (nyantri), bahkan akan mendapat laknat dari Alloh SWT.
Sampai saat ini, pola kehidupan sosial antarsantri dan kiai terhubung secara vertikal, artinya santri mengagungkan guru karena ilmu, wibawa, dan restu yang diharapkan para santri, bukan karena kekuasaan atau wewenang, maka unggah-ungguh dan tindak-tanduk santri benar-benar di jaga agar tidak menyakiti hati sang guru, dan guru meridloi upaya santri dalam menuntut ilmu. Sehingga apa yang menjadi tujuan dan harapan santri ketika menempuh pendidikan di pondok pesantren tercapai dengan disertai restu, keikhlasan, dan doa kepada santri dalam menyongsong kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.

E.     Simpulan
     Bentuk interaksi santri terhadap kiyai merupakan struktur sosial dimana struktur sosial adalah  fakta sosial, yaitu cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berada diluar individu tetapi  mengikat. Sehingga, kelas sosial tertentu identik dengan cara hidup tertentu.
    Seorang santri harus mematuhi apa-apa yang di perintahkan guru, jangan sampai berpaling terhadap guru, memblakangi guru apa lagi sampai menyakiti hati guru. Santri yang demikian tidak akan di restui kenginan atau harapannya, bahkan akan mendapat bendu atau laknat karena tidak hormat pada guru, sehingga harus menjaga unggah-ungguh terhadap guru.

F.      Referensi
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj.  Aswab Mahasin,  Bandung: Dunia Pustaka Jaya.
Nasution. M.A. Sosiologi Pendidikan. 2004. Jakarta:Bumi Aksara.
Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang  Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

www.google.com.Struktur Sosial Oleh Indrawadi, S.Si, MAP(21-04-’15 pkl 09.00)