Kedipan mata itu
menyibakkan silau yang membuat siapa saja yang menatapnya terhanyut akan
keanggunannya. Alisnya yang nanggal
sepisan bagaikan bulan sabit tanpa sedikit pun pelik dan membuat terpana
kepada siapa saja yang meliriknya. Surya itu memancar merah muda dan
menyilaukan pada setiap tatapan mata yang memandangya, senyum itu bagaikan
gugusan rasi bintang yang semua orang sepakat dengan keindahannya. Dan tubuhnya
yang terbalut dengan pakaian serba tertutup itu semakin menunjukkan bahwa dia
adalah seorang alim taat agama atau bisa disebut sebagai orang yang religius.
Bias-bias kaca
tertembus oleh sinar mentari dan langsung menyentuh jendela peraduan. Gelapnya
senja berganti terangnya embun pagi sudah. Bunga-bunga di depan papan jendela
tidur bermekaran, udara sejuk yang masih sedikit dingin itu memaksaku untuk
bangkit dari tempat yang paling santai untuk menyegarkan kembali fisik yang
kemarin terasa patah dan ambruk. Bagaimana tidak, selama tiga jam di dalam
ruangan dengan tiga orang di depanku yang tiada henti-hentinya ingin
menjatuhkan hasil kinerjaku selama enam bulan penuh. Kebanyakan orang
mengatakan bahwa itu adalah sidang, namun bagiku tidak demikian. Itu adalah
sebuah drama yang menguji akan kekonsistenan gagasanku yang sudah tertuang pada
lembaran-lembaran kertas putih, serta sesuatu yang harus aku ucapkan agar tiga
orang itu benar-benar menganggapku pantas dan layak untuk mencapai satu kata
yang mungkin harus setengah mati mencapainya, yakni “lulus”.
“Pagi Jem. Gimana
ujianmu kemarin, sidangya oke?” Sisi melambaikan tangan kearahku dan Jamal. “Em...
Alhamdulillah beres semua” jawab Jamal.
Biasalah, di kampus itu
panggilannya suka aneh-aneh. Jamal di panggil Jem, aku yang nama aslinya Pampam
aja di pangggilnya Jon. Katanya biar mudah dan terlihat keren. Kemudian kami
bertiga saling bersalaman dan tiba-tiba Sisi merangkul pundak kami dari tengah
diantara aku dan Jem. Sontak aku kaget, “Si, apa yang kamu lakukan?” “udah,
nyante aja. Biasa kale....” jawab Sisi santai.
Bagaimana tidak, Sisi yang
dikenal sangat anggun karena pakaian yang syar’i
itu senantiasa menutupi auratnya. Jilbabnya saja hampir menutup seluruh
tubuhnya, hampir sampai paha. Rasanya sangat aneh jika melihat cewek yang
seperti itu merangkul laki-laki. Apa lagi bukan saudara atau kerabatnya.
Terlebih biasanya Sisi juga memegang pipiku atau Jem, katanya gemes.
Kemudian kami
berlalu menuuju tempat yang kami tuju masing-masing, Jem kembali ke kost, Sisi
rapat dengan organisasinya, kalau aku sih kupu-kupu, alias kuliah pulang-kuliah
pulang. Ya sebenarnya ada satu kegiatan yang aku dan Sisi ikut di dalamnya
yaitu senat, namun aku jarang mengikuti kegiatan. Kalau sekarang BEM namanya.
Tapi keberadaanku hanya sebagai staf dan Sisi menjadi kepala departemen. Sisi
memang sangat cakap dalam cara berretorika dengan orang lain, dan sangat mudah
untuk membuat orang lain padanya. Wajar saja jika banyak yang mengagumi akan
keterampilannya itu.
Sore
itu mega berlarian pada hamparan kabut
di atas atap dunia. Sang surya semakin meredupkan sinarnya, agak kemerahan
namun tetap cerah merona. Denting waktu tak terasa menggugat, mengingatkan
bahwa hari sudah semakin senja dan aku masih banyak pekerjaan yang menunggu.
Di senja itu pula,
senat mengadakan pertemuan dan seluruh anggota senat wajib hadir pada pertemuan
tersebut untuk membahas topik sederhana yakni toleransi umat beragama.
Akhir-akhir ini memang banyak kritikan dari anak-anak di kelas, organisasi
intra maupun ekstra, serta dari kebanyakan mahasiswa lainnya berkenaan dengan
hari raya agama. Kenapa saat Hari Raya Idul Fitri atau Hari Raya Idul Adha di
media sosial sangat gencar akan ucapan-ucapan “Selamat Hari Raya....”, “mohon
maaf lahir dan batin....” atau yang lainnya. Ucapan-ucapan tersebut berasal
dari sesama umat Islam, juga dari non Islam. Namun ketika hari rayanya agama
non Islam, tidak ada ucapan-ucapan selamat hari raya, atau sangat sedikit yang
mengucapkannya, itu pun dari pihak yang agamanya sama. Umat Islam memang
menjadi mayoritas di universitas kami. Untuk itu pada pertemuan senat kali ini,
masalah tersebut akan di kupas sampa tuntas.
“Kita sebagai umat
Islam tidak boleh merayakan hari rayanya orang kafir, jika orang-orang kafir
mau mengucapkan selamat atas hari raya umat Islam, itu terserah mereka dan
bukan menjadi urusan kita. Karena yang ikut merayakan hari rayanya orang kafir,
maka dia juga termasuk orang yang kafir”. Adalah argumen dari Sisi kadep
(kepala departemen) advokasi senat setelah ketua senat membuka rapat atau
pertemuan dengan beberapa pengantar sebagai pemantik. Lain halnya dengan
pendapat dari Jeki sebagai kadep humas. Ia mengatakan “Sebagai umat Islam
memang tidak boleh ikut merayakan hari rayanya orang non Islam, namun karena
kampus kita merupakan kampus yang dinamis dan memiliki keanekaragaman suku,
agama, daerah, maupun bahasa, alangkah baiknya kita menghargai hari raya umat
non Islam juga sebagai tanggapan atas kritikan yang senat terima. Kita bukannya
ikut merayakan agama mereka, namun sebatas menghargai seperti membuat ucapan
selamat hari raya kepada saudara-saudara kita non Islam, dalam bentuk pamphlet, atau menyerupai brosur pada
media masa. Berlandaskan bahwa kita harus memiliki jiwa toleransi dan rasa
saling mencintai sesama umat manusia. Bagaimana menurut forum?” Kebanyakan
anggota senat mengangguk dan sepaham dengan pendapat yang diajukan oleh Jeki.
Susi merasa sangat
keberatan terhadap pendapat Jeki. Mukanya merah padam, kemudian dia
meninggalkan forum pertemuan senat dengan meninggalkan satu kalimat “Sepertinya
sebagian besar anggota senat tidak paham akan kemurnian agama Islam yang
sesungguhnya”. Susi pun berlalu.
Jika di lihat dari
penampilan, Jeki sangatlah berbeda degan Susi, Jeki hanya mengenakan kerudung
sebatas dada, pakaiannya pun tak jarang memperlihatkan lekukan-lekukan
tubuhnya. Namun pemikirannya yang matang itu, meyakinkan semua anggota senat
untuk bersikap adil yaitu ikut menghargai setiap hari raya agama yang ada di
kampus kami. Bukan ikut serta merayakan, namun sebatas pada ikut menghargai dan
menghormati. Kalau memang tidak di benarkan karena mengucapkan “Selamat Hari Raya....”
pada orang-orang yang beragama non Islam, maka berlandaskan atas dasar
kemanusiaanlah untuk ikut serta merasakan sedikit kebahagiaan karena
kebahagiaan yang sedang mereka rasakan. Karena saya merasa bahwa Islam pun
tidak pilih-pilih pada saat membuat saudara-saudara sesama manusia itu
senantiasa bahagia.
Ternyata
kepribadian orang bukanlah terletak pada atributnya, hakikat Islam bukan
terletak pada jilbab yang besar, pakaian yang serba tertutup, sorban atau yang
lain, karena semua itu adalah syari’at.
Lebih jauh dari itu, adalah pemaknaan dan pemahaman kita mengenai agama dan
Islam itu sendiri. Bukan mereka yang hanya memakai baju berkancing yang pantas
di sebut seseorang yang paham akan busana, karena kaos pun termasuk pakaian
atau bisa di katakan baju (kiasan). Bukan
Kancingnya, Tapi Bajunya (kiasan). Tidak perlulah menyalahkan mereka atau
pun menganggap mereka tidak lebih baik dari kita karena mereka memakai pakaian
yang “berbeda” dari yang kita kenakan. Alangkah baiknya kita menghormati dan
menghargai mereka karena kita semua masih sama-sama mengenakan pakaian, entah
dengan bentuk atau pun model busana apa pun.
Akhirnya sejak
pertemuan senat itu, kami memutuskan untuk bertoleransi yang lebih baik lagi
dengan semua mahasiswa dari latar belakang apa pun. Dan sejak saat itu pula,
Alhamdulillah konflik karena ucapan selamat hari raya, sudah tidak ada lagi.
Saya sebagai
mahasiswa yang masih abal-abal mungkin hanya bisa menilai sesuatu dari
permukaanya saja, karena saya bukanlah seorang ahli Teologi atau ahli agama. Namun,
atas dasar “Rasa Kemanusiaan” saya kira apa pun agamanya, apa pun suku mau pun
latar belakangnya, sekat-sekat atau pun kotak-kotak itu menjadi lebur dan
menjadi kekuatan positif yang luar biasa. Misalnya saja saat tragedi jalur
Gaza, atau yang ada di dekat kita yakni tragedi tsunami di Aceh. Berbagai
bantuan dan dukungan materi atau pun non materi, itu berasal dari berbagai
pihak yang beranekaragam suku, agama,
dan negara. Mereka membantu bukan karena kesamaan budaya, mereka membantu atas
dasar “Sesama Manusia”.
(kisah nyata dari salah satu
organisasi yang ada di salah satu universitas di kota Semarang).
0 komentar:
Post a Comment