Hubungan
Vertikal Antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa
di Pondok Pesantren
Oleh:
Imam Fauzi (3401413023)
Jurusan Sosiologi dan Antropologi, Universitas Negeri Semarang
A.
Latar belakang
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang pada umumnya
pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara klasikal (sistem bandongan dan sorogan), dimana seorang kiai mengajar santri-santri berdasarkan
kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad
pertengahan, sedangkan para santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama
dalam pesantren tersebut.
Hal yang penting untuk diingat adalah bahwa pondok pesantren memiliki
program pendidikan yang disusun sendiri (mandiri) di mana program ini
mengandung proses pendidikan formal, non formal maupun informal yang
berlangsung sepanjang hari dalam satu pengkondisian di asrama. Sehingga dari
sini dapat dipahami bahwa pondok pesantren secara institusi atau kelembagaan dikembangkan
untuk mengefektifkan dampaknya, pondok pesantren bukan saja sebagai tempat
belajar melainkan merupakan proses hidup
itu sendiri, pembentukan watak dan pengembangan sumber daya.
Santri di identifikasi dalam pelaksanaan yang cermat
dan teratur pada ritual-ritual pokok agama Islam, seperti shalat lima kali
sehari, shalat jum’at, berpuasa, dan melakukan amalan sehari-hari sebagai
sarana untuk menata hati dan memurnikan iman. Hubungan antara pondok pesantren
sebagai tempat belajar, pembentukan watak, ataupun sebagai praktik keagamaan
yang di akumulasikan dalam lembaga pendidikan pondok pesantren, tidak terlepas
dari potret struktur sosial yang ada, khususnya antarsantri dengan kiai atau
guru. Santri di posisikan sebagai kawula atau
sing nggayuh ilmu, sementara guru
terlebih kiai merupakan sumber barokah yang berasal dari Tuhan lewat keridloan
yang di berikan guru kepada santri. Proses pendidikan yang ada di pondok
pesantren menempatkan guru sebagai sumber pengetahuan dan pencerahan ilmu,
karena proses pembelajaran yang di lakukan sendirian atau tidak di dampingi oleh
guru di anggap sebagai proses belajar sepihak yang dapat menuai salah tafsir
atau bahkan kesesatan. Pemahaman guru disini sangat di perlukan untuk membuka
cakrawala pengetahuan murid (santri).
Hal
tersebut menimbulkan adanya struktur sosial antarsantri dan guru atau kiai yang
berdampak pada tingkah laku atau unggah
ungguh dari murid terhadap guru.
Mulai dari cara berbicara yang di lakukan santri kepada kiai, santri menundukan
kepala atau tidak berani memandang wajah kiai berlama-lama, hingga cara
bersalaman dan mencium tangan kiai yang
harus ndepe-ndepe atau ta’dzimul ustadz (mengagungkan guru). Berjalan
mendekat perlahan-lahan, menggunakan lutut dengan tetap membungkukan badan dan menundukan
kepala merupakan cara terbaik untuk menunjukkan etika atau sopan santun
layaknya murid terhadap guru.
Bentuk
interaksi santri terhadap kiai merupakan struktur sosial dimana struktur sosial
adalah fakta sosial, yaitu cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang
berada diluar individu tetapi mengikat. Sehingga, kelas sosial tertentu identik
dengan cara hidup tertentu. Kelas sosial disini yaitu kelas sosial antara
santri dan kiai, santri atau murid merupakan kelas sosial yang berada di bawah
kiai atau guru. Kelas sosial bukanlah sekedar kumpulan dari orang-orang yang
pendidikan atau penghasilannya relatif sama, tetapi lebih merupakan kumpulan
orang-orang yang memiliki cara atau gaya hidup yang relatif sama. Santri
memiliki kesamaan dalam hal kebiasaan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari
yaitu mempelajari kitab-kitab salaf (sering disebut dengan istilah kitab
kuning), Al-Qur’an, hafalan, atau gotong royong dalam pembangunan pondok atau
menjaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan pondok (ro’an).
Mengagungkan
guru pada konteks ini, bukan berarti menganggap guru sebagai yang agung,
melainkan guru merupakan sarana (sulamun:
tangga) yang akan menuntun santri atau murid kepada pemahaman tauhid, fikih,
ilmu alat (nahwu dan sharaf) yang muaranya pada perbaikan akhlak. Pemahaman
mengenai ilmu-ilmu tersebut harus secara syumul
dan kaffah (menyeluruh dan sempurna),
bukan pemahaman secara parsial atau setengah-setengah. Santri takut tidak akan
di ridloi keinginannya oleh guru atau tidak mendapat barokah/berkah apabila
tidak menjaga tindak-tanduknya. Seorang santri harus mematuhi apa-apa
yang di perintahkan guru, jangan sampai berpaling terhadap guru, memblakangi
guru apa lagi sampai menyakiti hati guru. Santri yang demikian tidak akan di
restui kenginan atau harapannya, bahkan akan mendapat bendu atau laknat karena tidak hormat pada guru.
Namun, ada
kalanya struktur sosial juga mengalami perubahan, karena status, kedudukan,
atau posisi individu atau kelompok dalam struktur sosial tidak bersifat statis
atau tetap, melainkan dapat mengalami perubahan atau perpindahan. Santri yang
sudah lama di pondok atau sudah lama nyantri, dan memiliki kemampuan yang
setara dengan ustadz dapat berpindah status menjadi seorang guru. Perpindahan
posisi dalam struktur sosial yang dialami oleh santri tersebut dalam struktur
sosial disebut sebagai mobilitas sosial.
Dari
pemaparan di atas, penulis mencoba menganalisis fenomena struktur sosial yang
ada di pondok pesantren dengan cara mengamati kehidupan sosial antara santri
dan kiai di salah satu pondok pesantren yang ada di lingkungan sekitar
Universitas Negeri Semarang. Dan penulis mengangkat judul “Hubungan Vertikal
antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok
Pesantren”. Tulisan ini berdasarkan pengalaman penulis secara langsung dan
menggunakan referensi pustaka yang ilmiah dan dapat di pertanggungjawabkan.
B. Tujuan
- Mengetahui Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren
- Memahami Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren
- Memberi wawasan kepada masyarakat awam mengenai Hubungan Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Pondok Pesantren
- Sebagai referensi dalam melaksanakan observasi atau penelitian di masa mendatang berkaitan dengan fenomena atau hal yang sama.
C. Esensi
dari paper berjudul “Hubungan
Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa
di Pondok Pesantren”
Alasan mengapa paper berjudul “Hubungan
Vertikal antara Santri dan Kiai sebagai Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Jawa
di Pondok Pesantren” di tulis adalah:
Struktur sosial merupakan salah satu
konsep paling esensial dalam ilmu Sosiologi. Struktur sosial berkaitan dengan
posisi-posisi individu atau kelompok dalam masyarakat, yaitu kedudukan sosial
(status) dan peranan sosial (role).
Struktur sosial merupakan susunan
atau konfigurasi dari unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat, yaitu
kelompok, kelas sosial, nilai dan norma sosial, dan lembaga sosial.
Konfigurasi yang terjadi pada kehidupan sosial santri tidak terlepas dari sumber
pengetahuan tertinggi dalam Islam, yakni Al-Qur’an sehingga konfigurasi
tersebut tetap di sosialisasikan melalui pengajaran dan kebudayaan yang ada di
pondok pesantren.
Bentuk interaksi dan komunikasi
antara santri dan kiai yang unik dimana sangat menjunjung tinggi nilai dan
norma sosial sebagai ciri utama dan tonggak kepribadian masyarakat Jawa.
D.
Pembahasan
Struktur
sosial muncul karena adanya dua unsur yaitu individu, dalam hal ini individu
adalah sebagai pembentuk masyarakat sekaligus pembentuk struktur sosial. Jika
tidak ada individu-individu maka tidak mungkin ada masyarakat. Dan yang kedua
adalah interaksi. Interaksi antarindividu dalam masyarakat akan membentuk
struktur sosial, tanpa adanya interaksi maka struktur sosial tidak mungkin
terbentuk. Terdapat dua macam parameter yang dapat digunaan untuk menganalisis
struktur sosial, yaitu Parameter
Graduated atau berjenjang, meliputi antara lain kekuasaan, keturunan/kasta,
tingkat pendidikan, kekayaan, usia, dan Paramater
Nominal atau tidak berjenjang, meliputi antara lain sukubangsa, ras,
golongan/kelompok, jenis kelamin, agama, dan seterusnya. Pondok pesantren dapat
di ukur menggunakan kedua parameter di atas, yaitu jika menyangkut tingkat pendidikan
ilmu agama, usia, dan kedudukan maka digunakan parameter graduated atau berjenjang, sementara jika terkait dengan
keanekaragaman asal dan budaya santri, jenis kelamin dan sebagainya digunakan parameter nominal atau tidak berjenjang.
Yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam
dengan menetap dalam asrama (pondok) dengan seorang kyai, tuan guru sebagai
tokoh utama dan masjid sebagai pusat lembaga dan menampung peserta didik
(santri), yang belajar untuk memperdalami suatu ilmu agama Islam. Pondok
pesantren juga mengajarkan materi tentang Islam, mencakup tata bahasa Arab,
membaca Al-Qur’an, Tafsir, Etika, Sejarah dan ilmu kebatinan Islam. Pondok
pesantren tidak membedakan tingkat sosial ekonomi orang tua peserta didik
(santri), pendidikan orang tua peserta didik (santri), dengan menekankan
pentingnya moral agama sebagai pedoman perilaku peserta didik (santri)
sehari-hari, serta menekankan pentingnya moral keagamaan tersebut dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat. (Departemen
Agama RI, hlm 1)
Pondok
pesantren yang melakukan pembelajaran dengan sistem klasikal yaitu mengkaji
kitab-kitab salaf dapat di katakan sebagai Pondok Salaf. Salaf artinya “lama”, “dahulu”,
atau “tradisional”. Pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang
menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang
berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran agama Islam dilakukan
secara individual atau kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik,
berbahasa Arab.
Ada dua jenis santri yakni Santri Mukim dan Santri Kalong.
Santri mukim
Ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren. Sedangkan Santri Kalong ialah santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulang kerumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Kiai adalah tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran. Karena itu kiai adalah salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren. Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik dan wibawa, serta ketrampilan kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. Dalam konteks ini, pribadi kiai sangat menentukan, sebab ia adalah tokoh sentral dalam pesantren.
Ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren. Sedangkan Santri Kalong ialah santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulang kerumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Kiai adalah tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran. Karena itu kiai adalah salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren. Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik dan wibawa, serta ketrampilan kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. Dalam konteks ini, pribadi kiai sangat menentukan, sebab ia adalah tokoh sentral dalam pesantren.
Untuk itu
hubungan santri dan kiai benar-benar terjaga, baik dari cara berkomunikasi,
berinteraksi hingga kontak sosial yang dilakukan dengan sangat halus dengan
tidak meninggalkan unsur-unsur kesopanan yang ada.
Unsur pokok
lain yang paling membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah
bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama
terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa
Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan
dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam seperti Adabul Murid, Ta’lim Muta’alaim, Sulamun
Najah, Nashoihuddiniyah, Fathul Qorib, Da’watut Tammah Qiroatul’uyun, Durusul
fiqhiyah, Tashrif, Jurumiyah, ‘Imrithi,
Alfiah, Mantig, Balaghoh, Bustanul
Arifin dan masih banyak lagi. Santri meyakini jika ingin mendapatkan ilmu
yang bermanfaat, terlebih dahulu harus mendapatkan barokah atau restu dari kiai
atau guru. Apabila santri sampai suul
adab (durhaka) kepada guru maka tidak akan mendapatkan apapun ketika dia
menjadi seorang santri (nyantri), bahkan akan mendapat laknat dari Alloh SWT.
Sampai saat
ini, pola kehidupan sosial antarsantri dan kiai terhubung secara vertikal,
artinya santri mengagungkan guru karena ilmu, wibawa, dan restu yang diharapkan
para santri, bukan karena kekuasaan atau wewenang, maka unggah-ungguh dan tindak-tanduk
santri benar-benar di jaga agar tidak menyakiti hati sang guru, dan guru
meridloi upaya santri dalam menuntut ilmu. Sehingga apa yang menjadi tujuan dan
harapan santri ketika menempuh pendidikan di pondok pesantren tercapai dengan
disertai restu, keikhlasan, dan doa kepada santri dalam menyongsong kehidupan
di dunia dan di akhirat kelak.
E.
Simpulan
Bentuk
interaksi santri terhadap kiyai merupakan struktur sosial dimana struktur
sosial adalah fakta sosial, yaitu cara bertindak, berfikir, dan berperasaan
yang berada diluar individu tetapi mengikat. Sehingga, kelas sosial tertentu
identik dengan cara hidup tertentu.
Seorang
santri harus mematuhi apa-apa yang di perintahkan guru, jangan sampai berpaling
terhadap guru, memblakangi guru apa lagi sampai menyakiti hati guru. Santri
yang demikian tidak akan di restui kenginan atau harapannya, bahkan akan
mendapat bendu atau laknat karena
tidak hormat pada guru, sehingga harus menjaga unggah-ungguh terhadap guru.
F.
Referensi
Geertz, Clifford. 1981. Abangan,
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Bandung: Dunia Pustaka
Jaya.
Nasution. M.A. Sosiologi
Pendidikan. 2004. Jakarta:Bumi Aksara.
Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi
Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
0 komentar:
Post a Comment