03 April 2017

Dimana Aku Melihat.....


Proses pemaknaan identitas yang terjadi dalam masyarakat, tidak terlepas dari nilai-nilai pendidikan yang mereka pahami, dimana saat ini proses pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi oleh penyerapan unsur-unsur budaya asing yang berimbas pada pola fikir dan cara bertindak masyarakat. Terlalu mengunggulkan budaya asing serta penyerapan budaya yang tidak disertai dengan sikap kritis dan proses filterisasi yang matang, hanya akan menimbulkan kesenjangan dalam berfikir, bertindak dan mengevaluasi. Akhirnya banyak generasi muda yang pandai berargumen dan kritis tanpa disertai analisis yang tajam dan logis. Sehingga, dari nilai-nilai pendidikan yang kebanyakan merupakan hasil adopsi dan mengesampingkan nilai-nilai budaya lokal masyarakat, akan menghasilkan generasi sekuler yang hanya bisa menjastifikasi. Padahal pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya sadar dan terencana yang bukan hanya bertujuan menjadikan manusia yang ahli dalam kemampuan intelektual (intellectual oriented) dengan cara transfer pengetahuan (transfer of knowledge) semata. Namun proses pendidikan juga berujung pada penumbuhan watak, kepribadian, etika, dan estetika melalui transfer of value yang terkristalisasi dalam tujuan pendidikan tersebut (Mufida, 2013).
Berbagai jenis lembaga pendidikan yang ada di Indonesia baik formal, informal atau pun nonformal, sampai detik ini masih tetap eksis dan terus mendapat perhatian dari masyarakat banyak. Namun, pertanyaannya adalah seberapa jauh masyarakat meyakini akan mutu atau standar tertentu dalam suatu lembaga pendidikan. Ketika di era post modern seperti sekarang ini masyarakat lebih memilih lembaga pendidikan yang dianggap kekinian, seperti halnya lembaga pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau lembaga pendidikan yang didirikan oleh yayasan tertentu baik di dalam atau pun luar negeri. Maka pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah sejauh apakah keberhasilan lembaga pendidikan formal tersebut dalam membimbing dan menuntun kepribadian, watak, etika, estetika serta mental anak. Atau bagaimana nasib lembaga pendidikan nonformal yang sifatnya justru lebih tradisional dan mengangkat budaya lokal kedaerahan layaknya lembaga pendidikan agama seperti pesantren? Apakah pesantren akan kehilangan penggemarnya dan kehilangan siswa atau santri, sehingga tak sedikit pesantren yang akhirnya memutuskan untuk bertransformasi menjadi lembaga pendidikan formal. 
Hari ini, tidak lagi menjadi hal tabu jika masih banyak orang yang beranggapan bahwa pendidikan pesantren itu kuno, tradisional, bahkan ketinggalan zaman. Asumsi tersebut didasarkan pada pola pendidikan pesantren yang dianggap berpusat pada guru (teacher center) bahkan taklid buta (baca: mengekor pada guru). Sistem pengajarannya yang lebih mengutamakan konsep barakah (baca: berkahnya ilmu) dan manfaat ilmu dari pada sekedar pengetahuan atau kemampuan kognitif semata. Untuk itu, barakah dan manfaat ilmu yang diajarkan pada pendidikan pesantren tidak dapat diukur dengan angka, berbeda halnya dengan kemampuan kognitif yang dapat di visualisasikan dengan angka. Hal yang demikian itu baik sadar atau pun tidak sadar sudah mengindikasikan adanya budaya pragmatis dalam kehidupan masyarakat banyak. Masyarakat lebih mengutamakan apa yang terlihat, terukur, dan tersistem. Bukan lagi pada makna, orientasi atau visi, dan yang lebih jauh dari itu adalah pada apa yang ada dibalik sebuah nilai. Akhirnya, dengan segala pola dan konsep pendidikan yang ada di pesantren, masyarakat umum lebih menjadikan pendidikan formal sebagai alternatif pilihan utama.
Hanya masyarakat yang berasal dari kalangan pesantren saja yang benar-benar memahami bahwa sistem pendidikan dan pengajaran pesantren sebenarnya memiliki pola yang jauh lebih modern dari pada sistem pengajaran dan pendidikan formal saat ini. Jika hari ini sudah banyak masyarakat yang tergerus akan maraknya budaya kebarat-baratan (westernisasi), pesantren justru tetap berpegang teguh pada budaya leluhur serta mempertahankan nilai-nilai budaya lokal yang ada di masyarakat. Jika hari ini pendidikan karakter masih terus menerus di galakkan oleh pemerintah, pesantren justru terlebih dahulu menjadikan nilai-nilai karakter sebagai landasan awal pendidikan sebelum menerima pengetahuan kognitif. Sebut saja Pondok Pesantren Tebu Ireng yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada 1899. Saat itu masih getol-getolnya penjajahan Jepang di Indonesia dan belum terlalu banyak pendidikan formal yang eksis, walaupun sejatinya pendidikan formal di Indonesia diperkenalkan oleh Belanda melalui politik etis (Rizqi dan Rini; 2015). Namun saat itu Pondok Pesantren Tebu Ireng sudah menjadi lembaga pendidikan non formal yang disegani karena karakter santri-santrinya yang tidak terlepas dari peran dan kepemimpinan sang pencetus Revolusi Jihad.


0 komentar:

Post a Comment