Proses pemaknaan
identitas yang terjadi dalam masyarakat, tidak terlepas dari nilai-nilai
pendidikan yang mereka pahami, dimana saat ini proses pendidikan di Indonesia
masih dipengaruhi oleh penyerapan unsur-unsur budaya asing yang berimbas pada
pola fikir dan cara bertindak masyarakat. Terlalu mengunggulkan budaya asing
serta penyerapan budaya yang tidak disertai dengan sikap kritis dan proses
filterisasi yang matang, hanya akan menimbulkan kesenjangan dalam berfikir,
bertindak dan mengevaluasi. Akhirnya banyak generasi muda yang pandai
berargumen dan kritis tanpa disertai analisis yang tajam dan logis. Sehingga,
dari nilai-nilai pendidikan yang kebanyakan merupakan hasil adopsi dan
mengesampingkan nilai-nilai budaya lokal masyarakat, akan menghasilkan generasi
sekuler yang hanya bisa menjastifikasi. Padahal pendidikan pada hakikatnya
merupakan upaya sadar dan terencana yang bukan hanya bertujuan menjadikan
manusia yang ahli dalam kemampuan intelektual (intellectual oriented)
dengan cara transfer pengetahuan (transfer of knowledge) semata. Namun
proses pendidikan juga berujung pada penumbuhan watak, kepribadian, etika, dan
estetika melalui transfer of value yang terkristalisasi dalam tujuan
pendidikan tersebut (Mufida, 2013).
Berbagai jenis lembaga
pendidikan yang ada di Indonesia baik formal, informal atau pun nonformal,
sampai detik ini masih tetap eksis dan terus mendapat perhatian dari masyarakat
banyak. Namun, pertanyaannya adalah seberapa jauh masyarakat meyakini akan mutu
atau standar tertentu dalam suatu lembaga pendidikan. Ketika di era post modern
seperti sekarang ini masyarakat lebih memilih lembaga pendidikan yang dianggap
kekinian, seperti halnya lembaga pendidikan formal yang didirikan oleh
pemerintah atau lembaga pendidikan yang didirikan oleh yayasan tertentu baik di
dalam atau pun luar negeri. Maka pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah
sejauh apakah keberhasilan lembaga pendidikan formal tersebut dalam membimbing
dan menuntun kepribadian, watak, etika, estetika serta mental anak. Atau bagaimana
nasib lembaga pendidikan nonformal yang sifatnya justru lebih tradisional dan
mengangkat budaya lokal kedaerahan layaknya lembaga pendidikan agama seperti
pesantren? Apakah pesantren akan kehilangan penggemarnya dan kehilangan siswa
atau santri, sehingga tak sedikit pesantren yang akhirnya memutuskan untuk
bertransformasi menjadi lembaga pendidikan formal.
Hari ini, tidak lagi
menjadi hal tabu jika masih banyak orang yang beranggapan bahwa pendidikan
pesantren itu kuno, tradisional, bahkan ketinggalan zaman. Asumsi tersebut
didasarkan pada pola pendidikan pesantren yang dianggap berpusat pada guru (teacher
center) bahkan taklid buta (baca: mengekor pada guru). Sistem
pengajarannya yang lebih mengutamakan konsep barakah (baca:
berkahnya ilmu) dan manfaat ilmu dari pada sekedar pengetahuan atau kemampuan
kognitif semata. Untuk itu, barakah dan manfaat ilmu yang diajarkan
pada pendidikan pesantren tidak dapat diukur dengan angka, berbeda halnya
dengan kemampuan kognitif yang dapat di visualisasikan dengan angka. Hal yang
demikian itu baik sadar atau pun tidak sadar sudah mengindikasikan adanya
budaya pragmatis dalam kehidupan masyarakat banyak. Masyarakat lebih
mengutamakan apa yang terlihat, terukur, dan tersistem. Bukan lagi pada makna,
orientasi atau visi, dan yang lebih jauh dari itu adalah pada apa yang ada
dibalik sebuah nilai. Akhirnya, dengan segala pola dan konsep pendidikan yang
ada di pesantren, masyarakat umum lebih menjadikan pendidikan formal sebagai
alternatif pilihan utama.
Hanya masyarakat yang
berasal dari kalangan pesantren saja yang benar-benar memahami bahwa sistem
pendidikan dan pengajaran pesantren sebenarnya memiliki pola yang jauh lebih
modern dari pada sistem pengajaran dan pendidikan formal saat ini. Jika hari
ini sudah banyak masyarakat yang tergerus akan maraknya budaya kebarat-baratan
(westernisasi), pesantren justru tetap berpegang teguh pada budaya leluhur
serta mempertahankan nilai-nilai budaya lokal yang ada di masyarakat. Jika hari
ini pendidikan karakter masih terus menerus di galakkan oleh pemerintah,
pesantren justru terlebih dahulu menjadikan nilai-nilai karakter sebagai
landasan awal pendidikan sebelum menerima pengetahuan kognitif. Sebut saja
Pondok Pesantren Tebu Ireng yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada 1899. Saat
itu masih getol-getolnya penjajahan Jepang di Indonesia dan belum terlalu
banyak pendidikan formal yang eksis, walaupun sejatinya pendidikan formal di
Indonesia diperkenalkan oleh Belanda melalui politik etis (Rizqi dan Rini;
2015). Namun saat itu Pondok Pesantren Tebu Ireng sudah menjadi lembaga
pendidikan non formal yang disegani karena karakter santri-santrinya yang tidak
terlepas dari peran dan kepemimpinan sang pencetus Revolusi Jihad.
0 komentar:
Post a Comment