20 September 2016

Menjadi “Santri Pancasilais”

 
“Santri Pancasilais”. Dua kata itu bukan berarti bermakna ambivalen. Jika banyak orang memahami bahwa dunianya santri hanya lah seputar dunia keagamaan, sementara Pancasila berarti berbicara kenegaraan/kebangsaan. Dua kata tersebut pun bukan berarti mengafiliasikan kaum santri dengan dunia politik, dimana nilai-nilai Pancasila seakan nyaris pudar hanya karena percaturan politik yang tidak sehat. Kemudian, seperti apakah dua kata diatas harus kita maknai?  Untuk itu, mari kita kaji bersama apa itu Santri Pancasilais.
Nur Kholis Majid mengungkapkan dua pandangannya tentang santri yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu sastri yang berarti orang melek huruf dan berasal dari Bahasa Jawa yaitu cantrik yang berarti seseorang yang mengikuti kiai di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri. Sementara Alm. KH. Abdullah Dimyathy dari Pandegelang-Banten, mengimplementasikan kata santri sesuai dengan fungsi manusia. Bahwasanya kata santri minimal berasal dari empat huruf, yaitu: (س,ن,ت,ر). Penjabarannya yaitu : Sin, yang artinya satrul al aurah (menutup aurat) sebagaimana selayaknya kaum santri yang mempunyai ciri khas dengan sarung, peci, pakaian koko, dan sandal ala kadarnya sudah barang tentu bisa masuk dalam golongan huruf sin ini yaitu menutup aurat. Nun, yang berarti na'ibul ulama (wakil dari ulama). Pada koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadits bahwa al ulama warasul ambiya' (ulama adalah pewaris nabi). Rasul adalah pemimpin dari ummat, begitu juga ulama. Peran dan fungsi ulama dalam masyarakat hampir sama dengan rasul, sebagai pengayom atau pelayan ummat dalam segala dimensi. Ta', yang artinya tarku al ma'shi (meninggalkan kemaksiatan). Dengan dasar yang dimiliki kaum santri, khususnya dalam mempelajari syari’at, kaum santri diharapkan mampu memegang prinsip sekaligus konsisten terhadap pendirian dan nilai-nilai ajaran Islam serta hukum adab yang berlaku di masyarakatnya selagi tidak keluar dari jalur syari’at. Ra’, yang artinya raisul ummah (pemimpin ummat). Manusia selain diberi kehormatan oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding yang lain. Manusia juga diangkat sebagai khalifatullah di atas bumi ini (Amin, 2012 “Asal Muasal Nama Santri”).
Pada hakikatnya, yang dinamakan sebagai santri bukan hanya mereka yang tinggal di pondok pesantren, dan bukan hanya mereka yang terus menerus mengaji dan menghafalkan Al-Qur’an. Apakah anda juga berfikiran sama dengan pemahaman dangkal penulis? Atau kah anda mempunyai argumentasi lain? Jika penulis bertanya, menurut anda (pembaca) salahkah jika kita berfikir bahwa semua manusia di muka bumi ini adalah santri? Yakni santri-santri peliharaan Allah SWT. Dan jangan lupa, yang namanya santri pasti ada yang patuh, pandai, bahkan ada pula yang  malas dan melanggar aturan hingga syari’at. Pada konteks ini, hanya jika kita mau berfikir bahwa semua manusia bahkan semua makhluk ciptaan-Nya merupakan santri milik Allah, kita tidak akan beranggapan bahwa terdapat kaum yang lebih hina, lebih buruk, bahkan lebih ganas. Yang ada hanya saudara-saudara yang belum menemukan cahaya sebagai lentera kehidupan yang nyata. Lentera itu bernama “kemanusiaan”. Apa pun agama, suku, jabatan, bahkan warna kulitnya, jika setiap insan memiliki lentera tersebut, dipastikan tidak akan terjadi penumpahan darah yang sudah sering kita ketahui belakangan ini. Maka, mari kita rengkuh bersama lentera kemanusiaaan tersebut!
Sekali lagi, jika saat ini kita mau sedikit merenungkan hal diatas, insyaallah kita akan lebih bersikap tolelir, menerima segala kekurangan, dan menghargai sesama. Karena sejatinya semua insan di dunia adalah santri-santri yang Allah SWT ciptakan.  Penulis bertanya lagi, apakah anda merupakan bagian dari bangsa Indonesia? Apakah anda masih percaya bahwa Indonesia adalah negara terbaik yang pantas anda tempati? Penulis tidak bertanya apa suku anda, apa agama anda, apa jabatan anda, dan harta apa yang anda miliki saat ini. Melainkan status kebangsaan apa yang anda ingin percayai? Karena status tersebut yang akan menghantarkan kita pada internalisasi  nilai kemanusiaan dalam sebuah ideologi dan falsafah hidup bangsa IndONEsia, yakni “Pancasila”.
Jika anda merasa sebagai warga Indonesia sejati tentu anda sudah sangat faham dengan setiap isi Pancasila serta makna yang terdapat didalam sila-silanya. Tidak hanya berlaku bagi orang Islam, namun bagi setiap masyarakat Indonesia dari sudut mana pun dan dari latar belakang apa pun. Karena Pancasila bersifat universal untuk negara Indonesia.  Jika saat ini masih banyak orang yang dengan kejam mementahkan nilai peradaban yang ada di Pancasila, maka sudah menjadi tugas kita sebagai generasi yang sadar untuk membantu meluruskan kembali pada jalan lurus yang sudah ada. Penulis tidak berkata “hanya generasi muda” melainkan “generasi sadar”. Sebab hanya yang sadar saja lah yang mampu membantu meluruskan nilai peradaban Pancasila yang saat ini banyak di khianati, berapa pun usianya. Tidak hanya cukup tahu saja dengan realita saat ini, dimana banyak yang tidak percaya dengan Pancasila, karena dengan adanya kesadaran itu lah berarti kita mau dan mampu untuk membantu mengembalikan nilai Pancasila, dimana sekarang sudah banyak orang yang mencemooh serta mengungkapkan ketidaksetujuannya.
Setiap jiwa adalah santri-santri Allah SWT. Jadi lah santri yang taat dengan perintah agama dan berjuang di jalan-Nya. Jadi lah santri yang memiliki jiwa humanitas. Religiusitas dan intelektualitas tentu jangan sampai tertinggal. Wabilkhusus kepada kawula muda, mari kita ingat kembali penggalan syair dari Syaikh Syarofuddin Yahya Al-‘Imrithi (Syaikh Al-‘Imrithi). Beliau mengungkapkan “Hanya dengan kadar keyakinannya, seorang pemuda akan ditinggikan derajatnya. Dan barang siapa yang tak punya kemantapan (tekad), maka dia tidak akan bisa mendapatkan kemanfaatan” . Untuk itu, mari kita kuatkan Imam kita dan juga memupuk tekad kuat demi cita-cita kita, demi harapan mulia para ulama dan pendahulu kita, serta demi  terwujudynya Negara Indonesia yang sejahtera dengan segala kemajemukannya.
Imam Fauzi



0 komentar:

Post a Comment