“Santri Pancasilais”. Dua kata itu
bukan berarti bermakna ambivalen. Jika banyak orang memahami bahwa dunianya
santri hanya lah seputar dunia keagamaan, sementara Pancasila berarti berbicara
kenegaraan/kebangsaan. Dua kata tersebut pun bukan berarti mengafiliasikan kaum
santri dengan dunia politik, dimana nilai-nilai Pancasila seakan nyaris pudar
hanya karena percaturan politik yang tidak sehat. Kemudian, seperti apakah dua
kata diatas harus kita maknai? Untuk
itu, mari kita kaji bersama apa itu Santri Pancasilais.
Nur Kholis Majid mengungkapkan dua
pandangannya tentang santri yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu sastri yang berarti orang melek huruf
dan berasal dari Bahasa Jawa yaitu cantrik
yang berarti seseorang yang mengikuti kiai di mana pun ia pergi dan menetap
untuk menguasai suatu keahlian tersendiri. Sementara Alm. KH. Abdullah Dimyathy
dari Pandegelang-Banten, mengimplementasikan kata santri sesuai dengan fungsi
manusia. Bahwasanya kata santri minimal berasal dari empat huruf, yaitu: (س,ن,ت,ر). Penjabarannya yaitu : Sin, yang artinya satrul al aurah (menutup aurat) sebagaimana selayaknya kaum santri
yang mempunyai ciri khas dengan sarung, peci, pakaian koko, dan sandal ala
kadarnya sudah barang tentu bisa masuk dalam golongan huruf sin ini yaitu
menutup aurat. Nun, yang berarti na'ibul ulama (wakil dari ulama). Pada
koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadits bahwa al ulama warasul ambiya' (ulama adalah pewaris nabi). Rasul adalah
pemimpin dari ummat, begitu juga ulama. Peran dan fungsi ulama dalam masyarakat
hampir sama dengan rasul, sebagai pengayom atau pelayan ummat dalam segala
dimensi. Ta', yang artinya tarku al ma'shi (meninggalkan
kemaksiatan). Dengan dasar yang dimiliki kaum santri, khususnya dalam
mempelajari syari’at, kaum santri diharapkan mampu memegang prinsip sekaligus
konsisten terhadap pendirian dan nilai-nilai ajaran Islam serta hukum adab yang
berlaku di masyarakatnya selagi tidak keluar dari jalur syari’at. Ra’, yang artinya raisul ummah (pemimpin ummat). Manusia selain diberi kehormatan
oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding yang lain. Manusia
juga diangkat sebagai khalifatullah
di atas bumi ini (Amin, 2012 “Asal Muasal Nama Santri”).
Pada hakikatnya, yang dinamakan
sebagai santri bukan hanya mereka yang tinggal di pondok pesantren, dan bukan
hanya mereka yang terus menerus mengaji dan menghafalkan Al-Qur’an. Apakah anda
juga berfikiran sama dengan pemahaman dangkal penulis? Atau kah anda mempunyai
argumentasi lain? Jika penulis bertanya, menurut anda (pembaca) salahkah jika
kita berfikir bahwa semua manusia di muka bumi ini adalah santri? Yakni
santri-santri peliharaan Allah SWT. Dan jangan lupa, yang namanya santri pasti
ada yang patuh, pandai, bahkan ada pula yang
malas dan melanggar aturan hingga syari’at. Pada konteks ini, hanya jika
kita mau berfikir bahwa semua manusia bahkan semua makhluk ciptaan-Nya merupakan
santri milik Allah, kita tidak akan beranggapan bahwa terdapat kaum yang lebih
hina, lebih buruk, bahkan lebih ganas. Yang ada hanya saudara-saudara yang
belum menemukan cahaya sebagai lentera kehidupan yang nyata. Lentera itu
bernama “kemanusiaan”. Apa pun agama, suku, jabatan, bahkan warna kulitnya,
jika setiap insan memiliki lentera tersebut, dipastikan tidak akan terjadi
penumpahan darah yang sudah sering kita ketahui belakangan ini. Maka, mari kita
rengkuh bersama lentera kemanusiaaan tersebut!
Sekali lagi, jika saat ini kita mau
sedikit merenungkan hal diatas, insyaallah
kita akan lebih bersikap tolelir, menerima segala kekurangan, dan menghargai
sesama. Karena sejatinya semua insan di dunia adalah santri-santri yang Allah
SWT ciptakan. Penulis bertanya lagi,
apakah anda merupakan bagian dari bangsa Indonesia? Apakah anda masih percaya
bahwa Indonesia adalah negara terbaik yang pantas anda tempati? Penulis tidak
bertanya apa suku anda, apa agama anda, apa jabatan anda, dan harta apa yang
anda miliki saat ini. Melainkan status kebangsaan apa yang anda ingin percayai?
Karena status tersebut yang akan menghantarkan kita pada internalisasi nilai kemanusiaan dalam sebuah ideologi dan
falsafah hidup bangsa IndONEsia, yakni “Pancasila”.
Jika anda merasa sebagai warga
Indonesia sejati tentu anda sudah sangat faham dengan setiap isi Pancasila
serta makna yang terdapat didalam sila-silanya. Tidak hanya berlaku bagi orang
Islam, namun bagi setiap masyarakat Indonesia dari sudut mana pun dan dari latar
belakang apa pun. Karena Pancasila bersifat universal untuk negara
Indonesia. Jika saat ini masih banyak
orang yang dengan kejam mementahkan nilai peradaban yang ada di Pancasila, maka
sudah menjadi tugas kita sebagai generasi yang sadar untuk membantu meluruskan
kembali pada jalan lurus yang sudah ada. Penulis tidak berkata “hanya generasi
muda” melainkan “generasi sadar”. Sebab hanya yang sadar saja lah yang mampu
membantu meluruskan nilai peradaban Pancasila yang saat ini banyak di khianati,
berapa pun usianya. Tidak hanya cukup tahu saja dengan realita saat ini, dimana
banyak yang tidak percaya dengan Pancasila, karena dengan adanya kesadaran itu
lah berarti kita mau dan mampu untuk membantu mengembalikan nilai Pancasila,
dimana sekarang sudah banyak orang yang mencemooh serta mengungkapkan ketidaksetujuannya.
Setiap jiwa adalah santri-santri
Allah SWT. Jadi lah santri yang taat dengan perintah agama dan berjuang di
jalan-Nya. Jadi lah santri yang memiliki jiwa humanitas. Religiusitas dan
intelektualitas tentu jangan sampai tertinggal. Wabilkhusus kepada kawula muda,
mari kita ingat kembali penggalan syair dari Syaikh Syarofuddin Yahya
Al-‘Imrithi (Syaikh Al-‘Imrithi). Beliau mengungkapkan “Hanya dengan kadar
keyakinannya, seorang pemuda akan ditinggikan derajatnya. Dan barang siapa yang
tak punya kemantapan (tekad), maka dia tidak akan bisa mendapatkan kemanfaatan”
. Untuk itu, mari kita kuatkan Imam kita dan juga memupuk tekad kuat demi
cita-cita kita, demi harapan mulia para ulama dan pendahulu kita, serta
demi terwujudynya Negara Indonesia yang
sejahtera dengan segala kemajemukannya.
Imam Fauzi
0 komentar:
Post a Comment