31 May 2016

North Country (Minnesota Utara 1975): Tentang Diskriminasi Gender Pekerja Perempuan di Mesubi Iron Range



She doesn’t give up easly because of you. As fast as you give up because of her......
Dia tidak mudah menyerah karenamu. Secepat kau menyerah karenanya.......
Women's group struggling in to voice it human right and material right......
Perjuangan kaum perempuan dalam menyuarakan hak-hak manusiawi dan hak materi......
Berawal dari sebuah cerita yang berlatar di Mesubi Iron Range Minnesota Utara, yaitu perusahaan tambang besi yang dipimpin oleh Lou Gorug Pearson. Di perusahaan ini lah terdapat rentetan kisah perjuangan sesosok perempuan yang mempunyai kehidupan keras dan menyakitkan. Namanya adalah Josy Aimes, seorang perempuan dengan dua anak tanpa ayah yang jelas. Josy adalah sesosok perempuan tangguh yang berjuang atas nama keadilan gender. Pada usia SMA dia harus merelakan keperawananya direnggut oleh guru SMAnya sendiri.  Hal yang paling ironis disini adalah bahwa kejadian tersebut dirahasiakannya dari kedua orang tua Josy. Namun, tak ada yang bisa menyimpan masalah serapat mungkin. Masalah apa pun pasti akan terbongkar juga. Seiring dengan membesarnnya perut Josy, akhirnya Josy melahirkan anak pertamanya laki-laki. Anggapan orang tua Josy adalah Josy telah melakukan hubungan terlarang dan menimbulkan aib keluarga, sehingga kehadairan Josy di keluarganya setelah kejadian itu menjadi semakin berat dan terasingkan. Josy hampir tak pernah mendapat perlakuan yang semestinya dan selalu mendapat cercaan, khususnya dari sang ayah.
Anak laki-laki Josy bernama Sammy, usianya sudah menginjak remaja. Kemudian Sammy pun mempunyai adik perempuan, dan mulai saat itu kebencian ayah Josy semakin bertambah. Apa lagi ketika Josy masih belum menemukan pekerjaan, padahal harus menghidupi kedua anaknya. Walaupun Josy seorang perempuan, namun ia tetap dituntut untuk membesarkan anak-anaknya secara mandiri. Akhirnya setelah berusaha keras, Josy pun mendapatkan pekerjaan di Mesubi Iron Range. Dari sini lah pahitnya jalan kehidupan yang ditempuh Josy semakin tampak jelas. Sebagian besar pekerja tambang di perusahaan tersebut adalah laki-laki, dan perempuan dianggap tidak pantas untuk bekerja di pertambangan. Tambang adalah milik laki-laki. Dari keyakinan yang dianut oleh seluruh pekerja tambang di Mesubi Iron Range atau mereka menyebut dirinya sebagai serikat pekerja tambang, kesenjangan gender pun mulai terjadi. Berbagai perlakuan tidak senonoh dari pekerja laki-laki terhadap pekerja perempuan semakin merajalela.
Awalnya, Josy masuk di Mesubi Iron Range atas bantuan teman dekatnya bernama Glory Godge. Tokoh Glory nantinya akan membantu perjuangan seorang Josy Aimes dalam menyuarakan ketidakadilan gender yang dialami hampir semua pekerja perempuan di Mesubi Iron Range. Dari pertama Josy bekerja disana, dia mengalami pelecehan seksual dari rekan kerja laki-laki yaitu Earl dan Boby. Mulai dari perkataan yang tidak senonoh, “wanita jalang, wanita yang berhubungan seksual dengan banyak orang, wanita pekerja seksual” sampai pada perlakuan yang yang sangat keterlaluan. Menyentuh bagian vital, sampai menindih tubuh Josy kerap dilakukan oleh Earl. Sementara Boby awalnya adalah pacar Josy saat di SMA, namun karena Josy sudah diperkosa oleh gurunya akhirnya Boby meninggalkan Josy. Dan di Mesubi Iron Range, Boby selalu berusaha mencium Josy dan melakukan pelecehan seksual lainnya. Bahkan perlakuan-perlakuan diskriminasi gender seperti merendahkan dan memfitnah pekerja perempuan yang ada disana juga kerapkali terjadi.
Ketidakadilan gender seperti yang diungkapkan oleh Prof. Marhaeni merupakan bentuk dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan yang berasal dari keyakinan gender (Marhaeni, 2011:81). Ketidakadilan gender dialami oleh sebagian besar pekerja perempuan yang ada di Mesubi Iron Range dan merupakan perlakuan yang mengarah pada kejahatan seksual. Misalnya seperti tulisan “wanita jalang” menggunakan kotoran pada dinding kamar mandi yang ada di pabrik tambang Mesubi Iron Range. Seiring berjalannya waktu dengan tanpa adanya perubahan keadaan yang membaik, Josy Aimes bertekad untuk melaporkan dan menuntut keadilan. Usaha pertama yang ia tempuh adalah dengan melaporkan kepada pihak atasan perusahaan sampai pimpinan perusahaan. Namun yang terjadi adalah Josy di permainkan dan pengakuannya tidak di anggap sebagai sebuah kebenaran. Apa lagi dengan pengalaman seksual Josy, semakin direndahkan lah dia oleh Lou Gorug Pearson dan Josy dihadapkan pada pilihan untuk  berhenti dari perusahaan atau tetap melanjutkan bekerja dengan segala perlakuan diskriminatif yang tidak di akui oleh pimpinan perusahaan.
Ketidaksetaraan gender yang menimpa Josy dan pekerja perempuan lainnya disebabkan karena adanya dominasi peran laki-laki dalam ranah publik dan menempatkan peran perempuan pada ranah domestik. Kondisi tersebut terjadi secara universal dan menempatkan posisi perempuan pada tingkat yang rendah dibandingkan dengan posisi laki-laki (Rosaldo, 1974). Jumlah partisipasi dalam lingkup publik yang di kuasai laki-laki semakin melanggengkan otoritas laki-laki di muka umum dan menyebabkan adanya penilaian yang lebih tinggi terhadap apa yang dilakukan oleh laki-laki. Saat itu, budaya yang masih melekat pada masyarakat Minnesota Utara masih sangat bias gender. Dibuktikan dengan adanya perlakuan terhadap kaum laki-laki dan kaum perempuan yang mengalami  kesenjangan (gap). Pekerjaan tambang dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, pekerja tambang bukan tempatnya perempuan untuk bekerja. Perempuan tidak pantas berada di perusahaan tambang dan sebagainya. Kondisi demikian terus terjadi sampai akhirnya Josy mengajukan tuntutan terhadap perlakuan semena-mena yang dia dan pekerja perempuan lainnya dapatkan.
Keadaan semakin bertambah buruk ketika Josy juga tidak mendapat penghormatan dari anak-anak dan orang tuanya. Sammy selalu menyalahkan perlakuan ibunya, dan ayah Josy juga terus menerus merendahkannya dan menganggap Josy sebagai pembawa aib keluarga. Pada posisi ini, Josy dianggap sebagai perempuan yang hina. Namun, Josy tetaplah seorang ibu bagi anak-anaknya dan Josy tetaplah sebagai anak dari kedua orang tuanya. Sehingga dalam suatu forum rapat resmi serikat pekerja Mesubi Iron Range, Josy dapat menyuarakan aspirasinya namun tetap diremehkan oleh seluruh audien yang hadir disana.  Pada saat itu, ayah Josy tergerak hatinya dan tersadar hingga akhirnya menemani Josy diatas panggung untuk mengungkapkan pendapat. “Dulu kalian adalah teman-teman saya, saudara dan keluarga saya. Namun sekarang kalian bukanlah siapa-siapa, bahkan saya tidak mengenal kalian. Ketika kita mengajak istri kita makan disuatu restoran, kita tak pernah mengatakan jalang pada istri-istri orang lain disana, Josy tetaplah anak saya dan dia mempunyai dua orang anak yang harus dibesarkan”. Kemudian beberapa pekerja lainnya tertegun dan memberikan tepuk tangan kepada Josy dan ayahnya, walaupun ada juga yang berlaku sinis terhadap mereka.
Akhirrnya dengan ditemani seorang pengacara bernama Bill, Josy memberanikan diri untuk melaporkan pelecehan seksual yang dia alami ke pengadilan. Dan dengan proses yang sangat panjang Josy pun memenangkan gugatan. Awalnya sangat sulit, namun dengan ditemani Glory, Sherly dan beberapa pekerja perempuan lainnya, tuntutan Josy menjadi sebuah tuntutan publik dan pihak perusahaan harus memberikan ganti rugi materi terhadap semua pekerja perempuan yang mengalami kasus pelecehan seksual diperusahaan tersebut.  Ketika tuntutan Josy masih mengalami proses yang rumit, sebenarnya tak ada yang membela Josy kecuali Bill pengacaranya, namun ketika Glory yang saat itu dalam posisi sakit parah namun tetap hadir di pengadilan berkata “My name is Glory Godge and I’m not dad. I stand with Josy (nama saya Glory Godge dan saya belum mati. Saya berdiri bersama Josy)” menjadikan suasana sangat dramatis. Kemudian diikuti oleh sebagian perempuan yang ada di ruang sidang dan kedua orang tua Josy serta sebagian besar pekerja tambang laki-laki Mesubi Iron Range Pearson.
Ketidakharmonisan Josy dengan orang tua dan anak-anaknya juga berakhir. Dengan pengertian dan pemahaman yang Josy berikan kepada Sammy, menjadi jembatan baru untuk menempuh kehidupan yang damai. Dan karena hasil kerja kerasnya, Josy dapat mewujudkan cita-citanya menjadi seorang ibu yang akan melakukan apa pun untuk anak-anaknya. Josy dapat membeli rumah baru, memberi fasilitas kepada anak-anaknya dan memberi kebahagiaan kepada mereka. Walaupun sampai tahun 1989 jumlah pekerja perempuan yang ada di Mesubi Iron Range masih di dominasi oleh laki-laki dengan perbandingan 30:1, setidaknya sudah ada peraturan yang tegas untuk saling menghormati dan menghargai antarserikat pekerja disana.  Sesuai aturan dan sumpah serikat yakni “Hormati sesama rekan” yang dulu hanya sebatas ucapan dan berhenti pada ranah konsep dan norma, namun setelah perjuangan Josy berhasil konsep itu menjadi sebuah realitas sosial yang sampai saat ini masih dijunjung tinggi.
Ketidakadilan bukan sesuatu yang pantas untuk diratapi.......
Ketidakadilan bukan sesuatu yang pantas untuk kita abaikan..........
Ketidakadilan harus kita kalahkan dengan tangan kita sendiri...........
Ketidakadilan yang harus berlutut dibawah telapak kaki kita.........


Sumber:
Astuti, Tri Marhaeni Pudji. 2011. Konstruksi Gender dalam Realitas Sosial. Unnes Press: Semarang
Rosaldo, M and Lampere L. (eds). 1974. Women, Culture, and Society. Standford University       Press: Standford, CA.

24 May 2016

Bukan Kancingnya, tapi Bajunya.........


Kedipan mata itu menyibakkan silau yang membuat siapa saja yang menatapnya terhanyut akan keanggunannya. Alisnya yang nanggal sepisan bagaikan bulan sabit tanpa sedikit pun pelik dan membuat terpana kepada siapa saja yang meliriknya. Surya itu memancar merah muda dan menyilaukan pada setiap tatapan mata yang memandangya, senyum itu bagaikan gugusan rasi bintang yang semua orang sepakat dengan keindahannya. Dan tubuhnya yang terbalut dengan pakaian serba tertutup itu semakin menunjukkan bahwa dia adalah seorang alim taat agama atau bisa disebut sebagai orang yang religius.
Bias-bias kaca tertembus oleh sinar mentari dan langsung menyentuh jendela peraduan. Gelapnya senja berganti terangnya embun pagi sudah. Bunga-bunga di depan papan jendela tidur bermekaran, udara sejuk yang masih sedikit dingin itu memaksaku untuk bangkit dari tempat yang paling santai untuk menyegarkan kembali fisik yang kemarin terasa patah dan ambruk. Bagaimana tidak, selama tiga jam di dalam ruangan dengan tiga orang di depanku yang tiada henti-hentinya ingin menjatuhkan hasil kinerjaku selama enam bulan penuh. Kebanyakan orang mengatakan bahwa itu adalah sidang, namun bagiku tidak demikian. Itu adalah sebuah drama yang menguji akan kekonsistenan gagasanku yang sudah tertuang pada lembaran-lembaran kertas putih, serta sesuatu yang harus aku ucapkan agar tiga orang itu benar-benar menganggapku pantas dan layak untuk mencapai satu kata yang mungkin harus setengah mati mencapainya, yakni “lulus”.
“Pagi Jem. Gimana ujianmu kemarin, sidangya oke?” Sisi melambaikan tangan kearahku dan Jamal. “Em... Alhamdulillah beres semua” jawab Jamal.
Biasalah, di kampus itu panggilannya suka aneh-aneh. Jamal di panggil Jem, aku yang nama aslinya Pampam aja di pangggilnya Jon. Katanya biar mudah dan terlihat keren. Kemudian kami bertiga saling bersalaman dan tiba-tiba Sisi merangkul pundak kami dari tengah diantara aku dan Jem. Sontak aku kaget, “Si, apa yang kamu lakukan?” “udah, nyante aja. Biasa kale....” jawab Sisi santai.

Bagaimana tidak, Sisi yang dikenal sangat anggun karena pakaian yang syar’i itu senantiasa menutupi auratnya. Jilbabnya saja hampir menutup seluruh tubuhnya, hampir sampai paha. Rasanya sangat aneh jika melihat cewek yang seperti itu merangkul laki-laki. Apa lagi bukan saudara atau kerabatnya. Terlebih biasanya Sisi juga memegang pipiku atau Jem, katanya gemes.
Kemudian kami berlalu menuuju tempat yang kami tuju masing-masing, Jem kembali ke kost, Sisi rapat dengan organisasinya, kalau aku sih kupu-kupu, alias kuliah pulang-kuliah pulang. Ya sebenarnya ada satu kegiatan yang aku dan Sisi ikut di dalamnya yaitu senat, namun aku jarang mengikuti kegiatan. Kalau sekarang BEM namanya. Tapi keberadaanku hanya sebagai staf dan Sisi menjadi kepala departemen. Sisi memang sangat cakap dalam cara berretorika dengan orang lain, dan sangat mudah untuk membuat orang lain padanya. Wajar saja jika banyak yang mengagumi akan keterampilannya itu.
            Sore itu mega berlarian pada hamparan  kabut di atas atap dunia. Sang surya semakin meredupkan sinarnya, agak kemerahan namun tetap cerah merona. Denting waktu tak terasa menggugat, mengingatkan bahwa hari sudah semakin senja dan aku masih banyak pekerjaan yang menunggu.
Di senja itu pula, senat mengadakan pertemuan dan seluruh anggota senat wajib hadir pada pertemuan tersebut untuk membahas topik sederhana yakni toleransi umat beragama. Akhir-akhir ini memang banyak kritikan dari anak-anak di kelas, organisasi intra maupun ekstra, serta dari kebanyakan mahasiswa lainnya berkenaan dengan hari raya agama. Kenapa saat Hari Raya Idul Fitri atau Hari Raya Idul Adha di media sosial sangat gencar akan ucapan-ucapan “Selamat Hari Raya....”, “mohon maaf lahir dan batin....” atau yang lainnya. Ucapan-ucapan tersebut berasal dari sesama umat Islam, juga dari non Islam. Namun ketika hari rayanya agama non Islam, tidak ada ucapan-ucapan selamat hari raya, atau sangat sedikit yang mengucapkannya, itu pun dari pihak yang agamanya sama. Umat Islam memang menjadi mayoritas di universitas kami. Untuk itu pada pertemuan senat kali ini, masalah tersebut akan di kupas sampa tuntas.
“Kita sebagai umat Islam tidak boleh merayakan hari rayanya orang kafir, jika orang-orang kafir mau mengucapkan selamat atas hari raya umat Islam, itu terserah mereka dan bukan menjadi urusan kita. Karena yang ikut merayakan hari rayanya orang kafir, maka dia juga termasuk orang yang kafir”. Adalah argumen dari Sisi kadep (kepala departemen) advokasi senat setelah ketua senat membuka rapat atau pertemuan dengan beberapa pengantar sebagai pemantik. Lain halnya dengan pendapat dari Jeki sebagai kadep humas. Ia mengatakan “Sebagai umat Islam memang tidak boleh ikut merayakan hari rayanya orang non Islam, namun karena kampus kita merupakan kampus yang dinamis dan memiliki keanekaragaman suku, agama, daerah, maupun bahasa, alangkah baiknya kita menghargai hari raya umat non Islam juga sebagai tanggapan atas kritikan yang senat terima. Kita bukannya ikut merayakan agama mereka, namun sebatas menghargai seperti membuat ucapan selamat hari raya kepada saudara-saudara kita non Islam, dalam bentuk pamphlet, atau menyerupai brosur pada media masa. Berlandaskan bahwa kita harus memiliki jiwa toleransi dan rasa saling mencintai sesama umat manusia. Bagaimana menurut forum?” Kebanyakan anggota senat mengangguk dan sepaham dengan pendapat yang diajukan oleh Jeki.
Susi merasa sangat keberatan terhadap pendapat Jeki. Mukanya merah padam, kemudian dia meninggalkan forum pertemuan senat dengan meninggalkan satu kalimat “Sepertinya sebagian besar anggota senat tidak paham akan kemurnian agama Islam yang sesungguhnya”. Susi pun berlalu.
Jika di lihat dari penampilan, Jeki sangatlah berbeda degan Susi, Jeki hanya mengenakan kerudung sebatas dada, pakaiannya pun tak jarang memperlihatkan lekukan-lekukan tubuhnya. Namun pemikirannya yang matang itu, meyakinkan semua anggota senat untuk bersikap adil yaitu ikut menghargai setiap hari raya agama yang ada di kampus kami. Bukan ikut serta merayakan, namun sebatas pada ikut menghargai dan menghormati. Kalau memang tidak di benarkan karena mengucapkan “Selamat Hari Raya....” pada orang-orang yang beragama non Islam, maka berlandaskan atas dasar kemanusiaanlah untuk ikut serta merasakan sedikit kebahagiaan karena kebahagiaan yang sedang mereka rasakan. Karena saya merasa bahwa Islam pun tidak pilih-pilih pada saat membuat saudara-saudara sesama manusia itu senantiasa bahagia.
Ternyata kepribadian orang bukanlah terletak pada atributnya, hakikat Islam bukan terletak pada jilbab yang besar, pakaian yang serba tertutup, sorban atau yang lain, karena semua itu adalah syari’at. Lebih jauh dari itu, adalah pemaknaan dan pemahaman kita mengenai agama dan Islam itu sendiri. Bukan mereka yang hanya memakai baju berkancing yang pantas di sebut seseorang yang paham akan busana, karena kaos pun termasuk pakaian atau bisa di katakan baju (kiasan). Bukan Kancingnya, Tapi Bajunya (kiasan). Tidak perlulah menyalahkan mereka atau pun menganggap mereka tidak lebih baik dari kita karena mereka memakai pakaian yang “berbeda” dari yang kita kenakan. Alangkah baiknya kita menghormati dan menghargai mereka karena kita semua masih sama-sama mengenakan pakaian, entah dengan bentuk atau pun model busana apa pun.
Akhirnya sejak pertemuan senat itu, kami memutuskan untuk bertoleransi yang lebih baik lagi dengan semua mahasiswa dari latar belakang apa pun. Dan sejak saat itu pula, Alhamdulillah konflik karena ucapan selamat hari raya, sudah tidak ada lagi.
Saya sebagai mahasiswa yang masih abal-abal mungkin hanya bisa menilai sesuatu dari permukaanya saja, karena saya bukanlah seorang ahli Teologi atau ahli agama. Namun, atas dasar “Rasa Kemanusiaan” saya kira apa pun agamanya, apa pun suku mau pun latar belakangnya, sekat-sekat atau pun kotak-kotak itu menjadi lebur dan menjadi kekuatan positif yang luar biasa. Misalnya saja saat tragedi jalur Gaza, atau yang ada di dekat kita yakni tragedi tsunami di Aceh. Berbagai bantuan dan dukungan materi atau pun non materi, itu berasal dari berbagai pihak yang  beranekaragam suku, agama, dan negara. Mereka membantu bukan karena kesamaan budaya, mereka membantu atas dasar “Sesama Manusia”.


(kisah nyata dari salah satu organisasi yang ada di salah satu universitas di kota Semarang).